Iklan

Menyoal Kenaikan Harga BBM dan Dampaknya

Admin
Sabtu, Maret 17, 2012 | 08:42 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z













SAYA juga bisa jadi presiden RI yang penting rakyat harus ikut, tunduk, dan patuh kalau saya naikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), tarif dasar listrik, dan beragam kebutuhan primer masyarakat lainnya”.

Begitulah kurang lebih lontaran salah seorang teman yang bercanda melihat strategi pemerintah yang selalu mengorbankan rakyat yang konon katanya demi untuk kepentingan negara.

Seperti jamak dipahami dalam masa-masa reformasi, kenaikan harga BBM sudah menjadi satu keniscayaan seiring dengan perjalanan waktu dan ketidaksigapan pemerintah dalam mengikuti perkembangan global.

Pemerintah pun merasa kebijakannya menaikkan harga BBM sebagai satu tindakan rasional. Meskipun rasionalisasi mereka tidak berpijak pada kondisi riil bangsa Indonesia yang mayoritas pendudknya berdaya beli rendah.

Selalu harga internasional yang dijadikan patokan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Anehnya, pemerintah rasanya belum pernah membandingkan pendapatan bangsa kita dengan pendapat internasional. Apalagi secara serius dan konkrit mensejahterakan rakyat sebagaimana sejahteranya masyarakat internasional.

Ketika hal itu yang menjadi frame berpikir pemerintah, maka kenaikan harga BBM akan menjadi kepastian kehidupan negeri ini. Berarti kenaikan angka kemiskinan juga dijamin kian lama akan terus meningkat.

Inilah satu kondisi yang siapapun saat ini tidak bisa menghindarinya. Bukan saja pemerintah sekarang yang melakukan tindakan seperti itu, pemerintahan sebelumnya pun tidak jauh berbeda. Boleh dikatakan ini adalah warisan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.

Dampak Moral
Publik bahkan termasuk pakar cenderung melihat dampak BBM dari aspek materil dan psikologis. Bahwa memang bisa dipastikan, seiring dengan naiknya harga BBM akan memicu kenaikan harga apapun juga yang ujungnya akan menimbulkan gejala kemiskinan yang kian massif.

Tetapi dampak moral dari kenaikan harga BBM jauh lebih serius daripada dampak negatif dari sisi materil dan psikologis. Kita semua telah mengerti, jauh sebelum harga BBM resmi naik, tindak kejahatan sudah terjadi dimana-mana. Mulai dari aksi unjuk rasa yang cenderung ricuh, sampai ulah sebagian masyarakat yang berusaha menimbun BBM sebanyak-banyaknya demi keuntungan pribadi.

Di beberapa kabupaten di Kaltim telah tercatat beberapa kasus penimbunan BBM yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Bahkan dalam kasus lain, aparat tak sanggup berbuat banyak atas terjadinya penimbunan BBM tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan moral yang serius yang terjadi akibat rencana kenaikan harga BBM.

Dalam situasi seperti itu, masyarakat yang memang sejak awal berdaya beli rendah akan sangat mudah terprovokasi untuk melakukan tindak anarkisme. Jadi kenaikan harga BBM tidak saja mengancam fisik dan kesejahteraan jasadiah belaka. Dia juga akan memicu terjadinya kerusakan moral yang berakibat pada miskinnya akhlak.

Jika masyarakat telah menanggalkan moralnya maka pejabat pun tinggal menunggu waktu. Cepat atau lambat, gerakan massa akan membludak dan mengarah pada kerusuhan massal. Inilah mungkin yang tidak begitu diperhatikan oleh para pemegang kebijakan di negeri ini.

Kita tentu tidak boleh melihat potensi ke arah itu -kerusuhan massal- sebagai sesuatu yang bisa diprediksi dengan mudah lalu bisa dikendalikan. Dalam konteks kekinian, data terkadang tidak selalu menunjukkan fakta tentang mestinya sesuatu seperti apa dan bagaimana. Peristiwa besar yang tak terduga bisa saja muncul sewaktu-waktu, bahkan dapat lebih mengerikan dari yang kita bayangkan.

Dari mana kalkulasi itu muncul? Seorang pejabat pemerintah pernah mengatakan bahwa dampak kenaikan BBM hanya bersifat temporer, paling lama tiga bula ke depan.

Mari kita lihat, sekarang kita sudah menjelang masuk Bulan April, itu artinya tiga bulan ke depan adalah bulan di mana anak-anak sekolah daftar sekolah atau daftar ulang. Berarti setiap orang tua harus berusaha mencari uang lebih banyak untuk biaya daftar-daftar tersebut. Sudah barang tentu nilai daftar sekolah atau daftar ulang juga tidak akan sama dengan tahun lalu. Kenapa? BBM naik!.

Belum lagi cuaca ekstrim yang cenderung tak menentu, juga berkontribusi signifikan terhadap perputaran roda ekonomi masyarakat lemah, terkhsusus para pedagang keliling. Bayangkan saja jika seorang pedagang keliling harus “istirahat” sepuluh hari dalam sebulan karena hujan? Tentu dia akan mengalami defisit anggaran yang cukup besar.

Jika mereka masih kuat spiritualitasnya, tentu tidak masalah. Bagaimana kalau spiritualitasnya rendah, tentu mereka adalah sekelompok masyarakat yang berada dalam bahaya besar. Pemerintah semestinya mengerti kondisi seperti itu, sehingga tidak terkesan suka mengorbankan rakyat untuk negara. Sementara mereka "bergembira" di atas derita rakyat. Sungguh ini sebuah anomali perilaku yang tak pernah terjadi kecuali di zaman manusia purba, raja yang irasional atau masyarakat Baduwi di zaman pra Islam.

Tolak BLT!
Paradok yang paling mudah dilihat adalah rencana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meredam gejolak rakyat di bawah karena kenaikan BBM. Kalau rakyat konsisten, sebaiknya rakyat dan kita semua menolak rencana tidak edukatif itu.

Kalau kita menolak kenaikan BBM maka seharusnya kita juga tidak mau dirayu dengan program BLT. BLT bagaimanapun tidak lebih dari sekedar program jadi-jadian yang dampak psikisnya sangat besar bahkan lintas generasi.

Sebagian kalangan menilai bahwa BLT akan menyuburkan kemalasan rakyat. Belum lagi teknis pencairan BLT yang dalam pelaksanaannya sering kali tidak memanusiakan manusia. Ada yang harus antri berhari-hari, bahkan pingsan karena terlalu lama menanti. Belum juga kebocoran dana BLT yang diduga dilakukan oleh pihak terkait yang berujung pada data penerima yang kurang valid.

Tetapi mungkinkah rakyat menolak sesuatu yang memang mereka butuhkan? Disinilah peluang meredam gejolak itu dilihat secara politis. Padahal kalau kembali pada dasar normatif UUD 45 dan Pancasila, semua itu adalah kewajiban pemerintah untuk mengatasinya, bukan dijadikan peluang untuk mengelabuhi rakyat sendiri.

Saran Untuk Kita Semua
Sebagai rakyat biasa, saya, dan kita semua, hanya bisa berharap pemerintah benar-benar meninjau ulang rencana kenaikan BBM. Apakah benar kenaikan itu merupakan wujud patriotisme pejabat atau sebaliknya. Jika sebaliknya maka tunda atau bahkan kalau perlu batalkan rencana yang akan menyakitkan rakyat sendiri. Sembari berusaha sekuat tenaga untuk mencari alternatif solusi yang tidak mengorbankan rakyat kecil.

Bagi kalangan mahasiswa, sudah seharusnya mereka melakukan pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Tapi mohon tidak dengan cara mengandalkan emosi lalu otot. Ingatkanlah pemerintah dengan cara yang santun, bijaksana lagi cerdas.

Memang cara seperti itu akan terkesan lama membuahkan hasil, tapi ini akan menjadi investasi sejarah yang sangat berharga bagi perjalanan generasi muda yang akan datang. Lebih baik lambat tapi sempurna dari pada cepat tapi salah sasaran dan memperunyam persoalan.

Bagi para ulama serta tokoh agama dan masyarakat, seharusnya juga melakukan pembelaan terhadap rakyat dengan menolak rencana kenaikan harga BBM. Ulama dan tokoh masyarakat harus punya gigi dalam menilai kebijakan pemerintah yang memang cenderung mengorbankan rakyat kecil.

Menarik seperti yang telah dilakukan oleh organisasi masyarakat beberapa waktu lalu yang bersatu menyatakan menolak rencana kenaikan harga BBM di Jakarta. Mereka memberikan beberapa argumentasi. Pertama, kebijakan ini dinilai zalim kepada rakyat, karena sebagian besar pengguna BBM adalah rakyat kelas menengah ke bawah. Alasan mendasar kedua adalah kebijakan ini merupakan "jalan tol" menuju liberalisasi sektor migas.

Selanjutnya bagi kita semua rakyat biasa, jangan lagi memilih pemimpin yang sudah terbukti banyak menyengsarakan rakyat, sekalipun kita tidak terkena dampak langsung kebijakan mereka. Tetapi sebagi wujud dari nilai Persatuan Indonesia, kita semua wajib menolak ketidakadilan dan ketidakberadaban di negeri yang sama-sama kita cintai ini.

Saya teringat pesan Profesor Halide, ekonom asal Makassar, Sulawesi Selatan, yang disampaikan dia dalam dialog nasional Peradaban Islam di Universitas Islam Negeri Alaudin, Makassar, awal bulan Maret lalu.

Dalam pesannya, profesor Halide mengatakan rakyat Indonesia harus benar-benar cerdas. Kalau ada pemimpin yang tidak jelas, kemudian mencalonkan diri kembali untuk dipilih dalam pemilu, maka tegas Halide, tinggalkan saja mereka kalau kita tidak ingin menangis untuk kedua kalinya. Apakah kita mau menderita terus menerus?!.[KTC]


*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menyoal Kenaikan Harga BBM dan Dampaknya

Trending Now

Iklan