Iklan

Hardiknas: Meninjau Kembali Efektifitas UN

Admin
Minggu, Mei 06, 2012 | 10:43 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:05Z


Oleh Zainal Arifin, S.Pd*


KALTIMTODAY -- PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) baru saja kita lewati. Namun tak ada yang istimewa. Sebab rasanya peningkatan kualitas pendidikan kita belum menunjukkan grafik yang betul-betul menggembirakan. Sehingga peringatan Hardiknas tahun ini tidak ubahnya dengan peringatan tahun-tahun sebelumnya.

Tidak banyak yang dapat dibanggakan dari sistem pendidikan di negeri kita ini. Semua prestasi yang digembar-gemborkan nampak bersifat semu dan andai pun nyata akan hanya sebatas di atas kertas.

Bukti yang tak terelakkan adalah gelaran Ujian Nasional (UN) yang baru saja usai yang mencatatkan prestasi ratusan kecurangan di dunia pendidikan nasional kita. Tulisan ini coba menelusuri tabir gelap UN yang hangat setiap tahunnya karena dilakukan secara berjamaah dan terorganisir rapi oleh oknum penyelenggara.

Wajar jika dunia pendidikan Indonesia masih berkabung. Pasalnya, penyelenggaraan UN yang baru saja usai, yang digadang sebagai alat ukur tinggi rendahnya kualitas pelajar menjadi ajang ‘pembantaian’ karakter pelajar itu sendiri. Berita yang beredar terkait aksi konvoi pelajar di jalanan setelah UN berakhir, corat-coret baju seragam, hura-hura dan lainnya menjadi indikasi kuat bahwa karakter seorang pelajar sebagai kaum terdidik telah ‘mati’.

Bahkan, sejumlah pelajar di Siantar , Sumatera Utara, melakukan pesta miras dan seks hanya untuk merayakan selesainya ujian nasional tahun ini (JPNN, 20/4/2012). Apakah ini yang akan dijadikan tolok ukur prestasi pendidikan nasional?. Fakta tersebut mungkin masih dianggap wajar, karena merupakan konsekuensi dari pendidikan nasional yang "bermazhab" kapitalisme. Yaitu mazhab pendidikan yang hanya mencetak ‘boneka’ yang terampil melakukan sesuatu saja namun tidak dilandasi keceredasan holistik yang kuat.

Kita semua tentu sepakat jika ada yang mengatakan anggota DPR, Bupati, Gubernur, pegawai pajak dan pejabat pemerintah lainnya adalah produk pendidikan nasional. Dan, kita juga ‘harus’ sepakat jika sejumlah oknum dari merekalah yang kemudian menilap hak rakyat dan menindas kehidupan wong cilik di negara ini.

Kembali pada kabar yang memprihatinkan dari gelaran UN tahun ini. Berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN menggambarkan kualitas pendidikan nasional yang masih terpuruk. Komunitas Air Mata Guru (KAMG) di Sumatera Utara, misalnya, dikabarkan telah menemukan kunci jawaban yang diketik pada selembar kertas beredar liar di tangan peserta UN. Kecurangan tersebut diperkuat KAMG dengan adanya pengakuan siswa yang telah memberikan dana hingga ratusan ribu rupiah untuk orang yang memberikan kunci jawaban UN kepadanya (Tribunnews.com, 23/4/2012).

Lalu pertanyaannya, untuk apa ujian nasional itu diselenggarakan jika peluang kecurangan juga dibuka selebar-lebarnya? Siapa dan apa motif oknum penyebar kunci jawaban itu?

Hal itu senada dengan berita yang dimuat mediaindonesia.com tertanggal 23/4/2012 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan UN SMK, SMA dan Madrasah Aliah tahun ini, Kemendikbud menerima 585 pengaduan yang kebanyakan tentang kecurangan dan kebocoran soal UN.

Penulis sangat yakin jika kecurangan-kecurangan itu terjadi hanya demi mengangkat nilai akademis peserta didik dan citra sekolah semata. Sebuah muatan nilai yang sangat jauh dari semangat pembentukan karakter generasi bangsa yang berakhlak mulia. Sungguh sangat disayangkan karena kecurangan itu terjadi di dunia pendidikan yang semestinya menjadi wadah mencetak para kader bangsa bermartabat.

Jika kembali pada maklumat Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-empat yang menyatakan: “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, tentu segudang persoalan akan kita temukan pada tujuan pendidikan nasional saat ini. Apakah mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimaksud itu lahirnya para koruptor? Karena saat UN pelajar kita sudah dikenalkan dengan praktek ‘busuk’ mencuri dan mencontek jawaban. Atau terwujudnya pelajar cinta tawuran yang ujungnya pada terbentuknya geng motor yang hidupnya meresahkan jalanan umum.

Apa mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa dengan melahirkan generasi hedonis yang gemar hura-hura dan seks bebas? Memang tidak semua seperti itu keadaannya, namun fenomena umum yang ada saat ini tidak dapat dipungkiri lagi.

Sementara itu, konspirasi politik semakin ‘menenggelamkan’ citra pendidikan nasional kita. Penyelenggaraan UN di beberapa daerah ‘menyedot’ dana yang tidak wajar. Bayangkan saja, Provinsi baru bernama Banten mengalokasikan APBN sebesar Rp. 12,6 miliar untuk pelaksanaan UN yang berakhir beberapa hari lalu. Tetangganya, yakni propinsi Jawa Barat menelan anggaran sebesar Rp. 43 miliar dengan alokasi penggunaan terbesarnya untuk membiayai pengawas. (Detik.com, 10/4/2012).

Tidak mau kalah, propinsi Jawa Timur pun menikmati subsidi pemerintah sebesar Rp. 27, 3 miliar untuk pelaksanaan UN di provinsi paling timur pulau Jawa itu. (Jatimprov.go.id, 22/3/2012).

Pertanyaannya, Mungkinkah pelaksanaan UN ini hanya untuk memberi gaji tambahan para pengawas? Lalu, siapa saja yang dimaksud sebagai pengawas UN itu? Penulis yakin para pembaca punya jawabannya.

Diknas Tanpa UN
Penyelenggaraan UN yang tak luput dari laporan adanya kecurangan, pemborosan, pungutan liar dan ‘seabrek’ konspirasi-nya merekomendasikan dihapusnya metode penilaian akhir ini pada dunia pendidikan bangsa kita.

Peraturan terbaru pemerintah pada tahun 2011, terkait kelulusan siswa yang ditentukan dua nilai, yakni 40% dari nilai sekolah dan 60% dari nilai UN menambah ambigu fungsi diselenggarakannya UN itu sendiri. Mengapa tidak cukup sekolah saja yang menentukan lulus atau tidak siswanya? Bukankah pihak sekolah lebih mengenali kehidupan anak didiknya?

Selain itu, UN telah menjadi ‘momok’ yang menakutkan bukan saja pada siswa, melainkan juga guru dan orang tua/ wali murid. UN menghantui mereka menjelang, saat penyelenggaraan, dan sesudah UN. Inilah yang mendorong praktek kesyikiran karena banyak siswa bersama guru mereka berziarah ke pemakaman menjelang UN.

Bahkan, beberapa guru membekali siswanya dengan pensil yang konon sudah "didoakan" hanya demi mendapat kemudahan untuk mengerjakan soal UN. Lah, ini, kan, berarti ‘pendidikan’ syirik namanya. Padahal pendidikan seharusnya mengantarkan manusia berpikir berlandaskan logika iman dan berperilaku rasional.

Sudah saatnya pendidikan kita lepas dari cengkraman mafia pendidikan yang semata-mata mencari keuntungan pribadi. Praktek-praktek kecurangan tidak layak tumbuh subur di dunia pendidikan karena hanya akan membentuk pola pikir menyimpang pada generasi bangsa yang turun-temurun sepanjang masa.

Dan tentu akibatnya, generasi negeri kita cenderung bersifat pragmatis dan kapitalis dalam memandang problematika bangsa ini. Mereka tidak lagi mengedepankan etika kala berdebat dan menjabat, dan tidak lagi memakai logika iman saat menyelesaikan suatu urusan. Prinsipnya, asal "beres" dengan kata kunci "wani piro" serta yang penting terpenuhi semua ambisinya.

Solusi Perubahan
Fenomena masyarakat Indonesia yang semakin akrab bersua dengan kapitalisme merupakan bukti output pendidikan negeri kita yang telah menyimpang dari fungsi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Lahirnya generasi koruptor, mafia hukum, hedonistik, pelajar brutal, manusia-manusia cabul dan sex oriented, serta masih banyak profesi-profesi gelap lainnya yang melambangkan pudarnya logika iman dalam diri generasi hasil dari sistem pendidikan nasional kita.

Ditambah lagi, kurikulum pendidikan yang tidak relevan dan tidak memiliki standarisasi yang jelas menjadikan kita sebagai warga pendidikan nasional senantiasa terjebak dalam kebingungan.

Maka sudah saatnya inovasi untuk pendidikan nasional digalang dan terkonsep dengan matang. Sehingga arah pendidikan nasional kita semakin jelas dan mampu menjamin kaderisasi anak bangsa yang dapat dibanggakan. Pembaharuan di setiap perangkat pendidikan menjadi hal utama yang harus diselesaikan demi mewujudkan “Pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa”. Jangan malu mengadopsi sistem pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai logika iman, misalnya sistem pendidikan Islam yang integratif.

Sistem pendidikan harus dikembalikan pada tujuan diselenggarakannya sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 yang berbunyi:

"Bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan MEMBENTUK WATAK serta PERADABAN BANGSA yang BERMARTABAT dalam rangka MENCERDASKAN kehidupan BANGSA, bertujuan untuk BERKEMBANGNYA POTENSI peserta didik agar menjadi MANUSIA yang BERIMAN dan BERTAKWA kepada TUHAN YANG MAHA ESA, BERAHLAK MULIA, SEHAT, BERILMU, CAKAP, kreatif, MANDIRI, dan menjadi warga negara yang demokratis serta BERTANGGUNGJAWAB". (Yang tercetak tebal dan kapital hanya sebagai penegasan, red)

Kesimpulannya, sudah tidak zamannya pendidikan hanya diukur dari nilai akademis saja, tanpa melibatkan aspek spiritual dan kecakapan hidupnya. Konspirasi dibalik UN harus dihentikan dan mestinya ditinggalkan karena efektivitasnya yang rendah dan hanya menimbulkan kecurangan di mana-mana.

Mari bersama membangun dunia pendidikan nasional kita demi melahirkan generasi bangsa yang memiliki ketajaman logika berlandaskan iman. Kemajuan pendidikan nasional merupakan proyek mulia yang harus dikerjakan secara kolektif oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.{ktc}



*Penulis adalah Blogger Indonesia, seorang guru, dan peminat masalah sosial, politik dan Keislaman.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hardiknas: Meninjau Kembali Efektifitas UN

Trending Now

Iklan