Iklan

"Dasar Gunung" yang Terlupakan

Admin
Sabtu, Mei 05, 2012 | 08:45 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:05Z














BURUH. Ya, kata itu mendadak populer sejak satu Mei lalu. Bukan saja karena ramai dibahas di tanah air tapi karena satu Mei atau May Day adalah hari perayaan buruh internasional. 

Berarti buruh itu ada di seluruh dunia. Tidak saja di negara dunia ketiga seperti Indonesia, tetapi juga tidak sedikit di negara-negara maju.

Semestinya jika kembali pada konsep demokrasi, kata buruh itu tidak perlu ada. Sebab demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mottonya adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. 

Faktanya berbeda, kemiskinan masih merajalela dimana-mana kecuali mereka yang menjadi pengendali kebijakan. Jadi konsep demokrasi ternyata tidak menyentuh masalah asasi hidup mati para rakyat, terutama kaum buruh.

Tidak hanya itu kaum buruh bukanlah kaum yang dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan. Kaum buruh diperlakukan secara kurang manusiawi dengan banyak diperas tenaganya untuk memberikan keuntungan besar bagi para pemegang modal. 

Itulah mengapa sekalipun perekonomian suatu negara meningkat dan terus mengalami trend positif, tetap saja yang namanya buruh tidak meningkat kesejahteraannya.

Kalau kita saksikan di Kutai Kartanegara saja setiap hari sebagian besar rakyat hanya melihat bukti-bukit batu bara diangkut menuju muara Sungai Mahakam. Tanpa mengerti kemana uang, keuntungan, manfaat pengangkutan batu bara tersebut bagi kehidupan rakyat. Sungguh sangat ironi. 

Sementara dalam hitungan ekonomi, ekspor batu bara tersebut tentu mendatangkan angka devisa yang tidak kecil. Tapi namanya rakyat atau buruh tetap saja tidak berubah nasibnya.

Daoed Joesoef dalam opininya di harian Kompas (30/4/12) lalu mengatakan bahwa kenaikan pendapatan negara, seperti produk nasional bruto (GNP) produk domestik bruto (GDP), dan pendapatan per kapita hanyalah ukuran kuantitatif yang fiktif murni. 

Semua itu tidak menginformasikan pembagiaan kekayaan yang dihasilkan oleh masyarakat. Melainkan kekayaan sebagian pemilik modal semata.

Apabila pola pikir seperti ini masih dipertahankan oleh pemerintah maka cepat atau lambat letupan besar sebagai bentuk perlawanan dari sistem kehidupan bernegara yang seperti ini pasti akan muncul juga. Pasti muncul karena mayoritas bangsa (rakyat yang sebagian besar buruh) merasa tidak terakomodir hak-haknya sebagai warga negara. Sementara himpitan hidup berupa tantangan ekonomi kian hari kian mencekik.

Saya rasa pemerintah terlalu lamban dalam mengatasi soal buruh ini. Jangan dianggap buruh tidak mengerti soal politik tinggi, sehingga didekati dengan cara-cara tidak adil. Sebab bangsa Indonesia secara pemikiran adalah pionir gerakan revolusi yang belakangan marak terjadi di Timur Tengah.

Satu hal lagi yang perlu dicatat dan ini adalah hal penting yang mesti diperhitungkan oleh pemerintah. Menurut Belanda rakyat Indonesia “het zachtste volk der aarde” (bangsa terlembut di dunia), tetapi kalau sudah “ontwaakt” (terjaga), mampu mencetuskan “revolusi”. Apakah ini yang kita kehendaki? Demikian pesan mantan menteri pendidikan Indonesia Daoed Joesoef dalam opininya itu.

Filosofi Gunung
Siapa yang tidak mengerti gunung, semua orang pasti tahu apa itu gunung. Bahkan mendiang Wakil Menteri ESDM Bambang Widjajono Partowidagdo meninggal ketika asyik berinteraksi dengan sebuah gunung. Tetapi diakui atau tidak banyak orang yang gagal melihat gunung secara filosofis, terutama ketika harus dilihat dalam perspektif sosio-economic-religius.

Dalam Al-Qur’an gunung disebut sebagai pasak yang berfungsi untuk menstabilkan kondisi bumi, sehingga tidak mudah goyah atau goncang (QS. 79 : 32). Dalam ayat yang lain gunung sering digunakan sebagai perumpamaan untuk menunjukkan kebesaran kitab suci Al-Qur’an sebagai bukti kebenaran firman-firman-Nya. Sebab gunung sekalipun sangat kokoh, ketika dihadapkan dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an pasti akan hancur berantakan (QS. 13 : 31).

Demikian pula halnya dalam konteks negara, gunung akan sangat membantu suatu negara untuk mencapai kondisi stabil bahkan maju dalam segala bidang. Gunung menunjukkan bahwa bagian yang paling besar adalah bagian yang paling bawah dan semakin berkurang pada bagian atasnya.

Artinya sebuah negara harus bisa memberikan perhatian, konsentrasi, dan ruang pada mayoritas bangsa dan negara untuk berpartisipasi langsung dalam pembangunan. Selama ini, kan, rakyat hanya dijadikan objek. Logikanya sederhana, bagaimana mungkin problem rakyat bisa diatasi jika rakyat sendiri tidak pernah diajak berpartisipasi dalam pembangunan itu sendiri.

Seorang dokter yang akan memberikan obat kepada pasien saja harus lebih dulu berdialog agar tidak salah memberikan resep. Bagaimana mungkin pemerintah akan mensejahterakan rakyat atau mengobati penyakit rakyat jika rakyat sendiri tidak pernah ditemui, didengar, disantuni, dikasihi, apalagi dilindungi.

Bagian bawah gunung itu adalah para buruh dan bagian menengah ke atas adalah para bangsawan dan pejabat negara. Dalam distribusi ekonomi, pembangunan, sosial, pendidikan, dan kesehatan, hendaknya kelompok menengah ke atas juga memberika perhatian kepada kelompok paling bawah. Jika tidak jangan menyesal jika suatu saat kelompok menengah ke atas dikubur oleh kelompok paling bawah.

Gunung menjadi kuat karena bagian bawahnya lebih besar dari pada bagian tengah apalagi atas. Demikian pula suatu negara, kehancuran akan segera menjelma manakala bagian bawah sering tersakiti dan bagian atas berlimpah dengan kenikmatan.

Maka, belajarlah pada gunung, hormatilah, hargailah, dan muliakanlah warga negaramu sendiri, sekalipun mereka berstatus sebagai buruh. Buruh, pejabat, bangsawan hanyaah gelar manusia, yang sesungguhnya hanyalah atribut yang semu belaka.

Belajar Pada Korea Selatan
Seperti apa yang dilakukan Korea Selatan patut untuk dijadikan perenungan. Dulu negeri ginseng itu adalah negeri yang sangat miskin, lebih miskin dari Indonesia. Tetapi mereka menemukan satu konsep pembangunan ekonomi yang alamiah, simultan, dan terorganisir dengan baik.

Pertama mereka membangun pedesaannya, infrastruktur, dan membangun industri dasar. Korsel menyebut program itu sebagai Saemaeul Undong yang diberlakukan sejak 1960 silam. Sekalipun tidak memiliki tambang bijih besi mereka mampu membangun industri baja sejak awal. Sebab itu adalah syarat awal untuk menjadi negeri industri.

Kemudian, kedua, dibangunlah industri elektronik dan industri mobil. Sekarang kita bisa lihat bagaimana Korsel mampu tampil di kancah global dengan kualitas yang diperhitungkan. Bangsa kita sekarang sudah dibanjiri produk-produk dari Korsel. Sebut saja seperti Samsung, LG, Hyundai, dan beragam alat elektronik lainnya.

Satu yang layak dipahami di sini adalah, kemajuan Korsel hari ini bukanlah sebuah hadiah atau tiba-tiba hadir begitu saja. Melainkan sebuah hasil dari upaya nyata, dan kerja keras untuk bisa membangun bangsa dan negaranya.

Indonesia akan sangat mampu menyusul keunggulan Korea Selatan bahkan melampauinya jika sedari kini, kita segera memformulasikan terealisasinya konsep pembangunan ekonomi kerakyatan dengan model bottom-up. Bottom-up memungkinkan seluruh elemen bangsa dan negara terlibat aktif dalam pembangunan dan kemandirian bangsa menuju super power dunia.

Korsel telah melakukan investasi besar dan tepat untuk menuju kejayaan negaranya. Mereka bangun budaya masyarakatnya, mereka sediakan infrastruktur yang memadai, regulasi yang humanis, dan dukungan spirit yang sangat luar biasa. Akhirnya semua rakyatnya tersantuni dan karena itu memiliki semangat yang luar biasa untuk maju dan terus maju.

Libatkan Rakyat dalam Pembangunan
Kini sudah saatnya negeri ini menemukan satu konsep pembangunan nasional yang memberikan ruang luas bagi seluruh mayoritas bangsa dan negara yang rata-rata hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Sejauh pemerintah masih menggunakan pola pikir (mind-set) kapitalis dalam melakukan pembangunan maka selamanya kesejahteraan rakyat hanyalah utopia belaka.

Saya melihat bahwa kaum buruh akan sejahtera dan seluruh rakyat Indonesia bisa sentosa manakala pemerintah melibatkan mereka secara aktif, pro aktif dalam program-program pembangunan. 

Sungguh ini diluar dugaan siapapun dan diluar dugaan para ahli-ahli ekonomi kelas elite tingkat dunia manapun, bahwa ternyata kaum lemah itu sendiri adalah orang-orang yang sangat mengetahui dan paling mampu serta paling perlu untuk dilibatkan secara langsung guna mengatasi dan menolong ekonomi kaum lemah itu sendiri. 

Dan, bahkan yang lebih mendasar lagi ialah bahwa ternyata mereka itu juga sangat mampu sekalian menolong menyelamatkan ekonomi seluruh Bangsa dan Negara kita INDONESIA seutuhnya.

Yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana konsep, way atau metode implementasi yang menjadi syarat kebangkitan Indonesia sendiri. Apabila rakyat diberi kesempatan yang tepat dengan TEORI & METODE Scientific yang tepat dan dengan SISTIM bimbingan massal yang tepat; Mengapa mencari solusi-solusi yang lain? 

(Artinya: Mengapa tidak menembus langsung kepada JANTUNG permasalahan POKOK-nya?, yaitu dengan mengembalikan “SOLUSI”-nya kepada mereka sendiri sebagai “PELAKU”-nya, asalkan di-“MODALI” dengan cukup secara “SOCIAL-RELIGIOUS-ECONOMICS”.

Jadi bukan saatnya lagi pemerintah merasa paling mampu membangun bangsa dan negara. Sungguh secara alamiah pembangunan bangsa dan negara ini bukan monopoli pemerintah semata. Tetapi hak semua bangsa dan negara. Maka libatkanlah mereka dalam membangun bangsa dan negara. Sejahterakan mereka maka bangsa dan negara akan jaya. Semoga.[KTC]


*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan Perintis Kelompok Studi Islam (KSI) Loa Kulu, serta Mantan Perintis dan Ketua Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII), Kutai Kartanegara, Kaltim.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Dasar Gunung" yang Terlupakan

Trending Now

Iklan