"Kalau kamu hidup di Barat, kamu bisa kehilangan anugerah terbesarmu," tegas sang guru kemudian sembari menyodorkan kue dan air minum.
"Wah, apa itu, pak," kejar sahabatku tadi dengan penuh penasaraan. "Iman-mu akan lemah bahkan bisa jadi mati. Di Australia setiap anak usia 17 tahun sudah dilengkapi kondom oleh orangtuanya. Pergaulan mereka sangat bebas tanpa batas, norma sekalipun. Agama minggir, wahyu mundur, dan Tuhan nganggur," demikian papar guru kami yang kala itu kami sama sekali belum mengerti apa itu maksudnya Tuhan nganggur.
Belakangan barulah kami mengerti bahwa yang dimaksud Tuhan ‘nganggur’ itu adalah Tuhan tidak boleh turut campur urusan manusia dan terbukti Tuhan memang tak berdaya berbuat apa-apa di era modern. Karena sudah tak berdaya untuk apa disembah sebaiknya dibunuh saja, begitu pikir seorang pemikir liberal dari Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche. Mengerikan, memang.
Itulah teori yang dibangun oleh Rene Descartes yang Barat menjulukinya sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurutnya dunia seisinya ini laksana jam dinding. Begitu jam sudah jadi, sang pembuat jam tidak perlu lagi mengatur jam itu sendiri. Sebab sistem dari jam itu sendiri sudah mampu mengatur dirinya sendiri. Itulah kenapa di Barat Tuhan dikenal sebagai deus otiosus (Tuhan telah di-PHK).
Jadi tidak ada agama di Barat. Karena itu tidak ada pula yang namanya norma. Semua serba boleh, yang penting suka sama suka. Jadi jangan heran kenapa setiap film keluaran Barat identik dengan pergaulan bebas.
Khawatir dengan kondisi generasi muda dan pola pikir masyarakat kita tercemari cara berpikir masyarakat Barat yang serba boleh, tidak ada aturan dan karena itu tidak ada haram. Rhoma Irama pun menggubah sebuah lagu berjudul Haram.
Melalui lagu itu, Rhoma Irama yang bagi saya merupakan sosok filosof seni modern, menjelaskan argumentasi mengapa norma itu perlu, zina itu haram, judi itu haram, dan semua yang "asyik-asyik" dan yang "enak-enak" itu dilarang? "Itulah perangkap setan, umpannya, ialah bermacam-macam kesenangan". Demikianlah ia menjelaskan dalam lirik lagunya. Ilmiah, rasional, dan mudah dinalar siapapun. Beruntunglah negeri ini punya seorang seniman berkarakter seperti Bang Haji Rhoma. Lagunya tak sekedar hiburan tapi juga pencerahan.
Bagi kita di Timur, Tuhan selalu ada dan Maha Kuasa. Lihat saja Pembukaan UUD 1945 di sana termaktub, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Esa,” kemudian pada sila pertama dasar negara, Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di sini, di bumi pertiwi ini, Tuhan ada dan selamanya Maha Kuasa.
Inferiorisme
Patutlah kita mengelus dada. Sekalipun mayoritas penduduk negeri ini beragama, realitanya masih sedikit yang benar-benar mengerti apalagi sadar menjalankan tuntunan Tuhan. Itulah yang terjadi di negeri ini. Apalagi mayoritas generasi muda sekarang, sudah tidak lagi memiliki kepedulian terhadap Tuhan. Padahal para pahlawan negeri ini telah mengingatkan dengan tegas bahwa bangsa ini merdeka karena rahmat Tuhan. Bukan semata-mata perjuangan para pejuang.
Tapi harus diakui sebagai bangsa yang pernah terjajah 350 tahun memang bukan hal mudah untuk 100% merdeka. Secara politik mungkin, tetapi secara mindset rasanya masih belum. Lihat saja produk hukum kita, sebagian besar masih warisan hukum Belanda, ekonomi kita, juga masih ekonomi kapitalisme, bukan ekonomi Pancasila apalagi ekonomi yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Ibn Khaldun, sosiolog dunia mengatakan bahwa bangsa yang terjajah akan menganggap bangsa yang menjajahnya sebagai bangsa yang unggul. Oleh karena itu apa yang dari Barat akan dianggap bagus, hebat, dahsyat oleh mayoritas orang Indonesia yang masih terjajah mindsetnya. Dalam bahasa filsafat situasi demikian disebut sebagai situasi kaum yang inferior. Kaum yang serba meniru, imitator, dan follower.
Bangsa yang inferior tentu akan sulit untuk menjadi bangsa yang merdeka, apalagi unggul dan jaya. Sebaliknya sangat mudah disusupi pemikiran asing bahkan dikendalikan asing. Tidak terkecuali gaya hidupnya. Lihat saja hari ini bagaimana umumnya selebritis kita bergaya Barat. Itulah fakta inferiorisme.
Hamid Fahmi Zarkasy menjelaskan bahwa Barat itu bukan sekedar teknologi. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Jika suatu bangsa atau agama telah tersusupi alam pikiran Barat maka tidak akan pernah ada lagi sesuatu yang orisinil yang tersisa. Itulah fakta dan realita di zaman kita. Berpancasila tapi tak beradab, beragama tapi tak ber-Tuhan.
Pergaulan Bebas
Satu hal yang sangat serius mengancam masa depan bangsa Indonesia adalah pergaulan bebas. Sebuah bentuk pergaulan yang lumrah pada binatang itu kini masuk dalam kehidupan manusia.
Akibatnya negara kehilangan aset terbesarnya dalam perjalanan sejarah bangsa. Tidak sedikit gadis-gadis negeri ini yang hamil di luar nikah, menikmati gaya hidup binatang dengan gonta-ganti pasangan, bahkan tidak jarang berani membunuh benih cintanya sendiri (aborsi). Sebuah kebiadaban yang tak pernah terjadi di zaman jahiliyah sekalipun.
Dampak yang lebih mengerikan lagi ialah ancaman dan penyebaran virus HIV/AIDS. Sebuah virus yang mematikan dan mengancam eksistensi manusia.
Portal kesayangan kita ini, sebagaimana dikutip dari rilis media Humas Pemprov Kaltim, melaporkan bahwa Penyakit HIV/AIDS di Kaltim cukup mengkhawaritkan. Berdasarkan data dari RSUD Wahab Sjahranie dari data kunjungan pasien klinik VCT periode 2005 sampai April 2012 tercatat, penderita HIV sebanyak 208 orang dan positif AIDS 254 orang, sementara itu penderita HIV/AIDS di Kaltim diperkirakan sudah mencapai lebih dari dua ribu orang.
Di antara penderita tersebut para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) mengalami Infeksi Oportinistik yang terdiri dari Diare 120 orang, TB Paru 89 orang, Wasting Syndrome 42 orang, Kandisiasis 37 orang dan PPE (Papular Prurtic Eruption) 14 orang. Bahkan RSUD A Wahab Sjahranie baru-baru ini mencatat ada 4 orang mahasiswa dan 5 orang pelajar positif HIV/AIDS. Ini di Kaltim, bagaimana di seluruh Indonesia?
Aktualisasi Nilai-Nilai Ketuhanan
Tidak ada cara yang efektif untuk mengatasi masalah inferiorisme yang berujung pada pergaulan bebas dan mewabahnya virus HIV/AIDS ini selain kembali kepada Allah SWT. Aspek lain seperti pengaruh film dan fashion sebenarnya adalah faktor yang gampang diatasi jika negara punya kepedulian terhadap keimanan warga negaranya.
Perubahan apapun, di bidang apapun, dengan cara apapun, tidak akan pernah sampai pada tujuan mulianya, jika keimanan pejabat dan penduduknya tidak dipedulikan. Apalah arti e-KTP tanpa moral. Apalah guna KPK tanpa etika. Semua tumpul, buntu, dan tak beraturan. Sebagaimana pengadilan kini yang tak lagi mengenal keadilan. Persis seperti seluruh kondisi jalanan yang di mana-mana tak bisa lepas dari kemacetan.
Inilah dampak ketika kita meniru gaya berpikir Barat. Berilmu tapi tak punya malu. Berteriak kebaikan tapi membenci Tuhan. Berteknologi tapi menghancurkan diri. Dan, berfilsafat tapi sesat.
Saatnyalah seluruh elemen bangsa berpikir dengan akal sehat bahwa bangsa ini akan maju bukan dengan cara ikut-ikutan, apalagi mengikuti Barat yang berpandangan hidup bebas sebebas binatang dalam mencari kepuasan. Oleh karena itu kita harus kritis dengan istilah kebebasan yang dipropagandakan Barat.
Sangat mungkin kebebasan yang mereka maksud adalah pembinasaan. Dan, pergaulan bebas telah menjadi kenyataan yang benar-benar ampuh membinasakan akal sehat mayoritas generasi muda bangsa. Bahkan sangat siap membinasakan masa depan bangsa.
Jika demikian, masihkah kita tertarik dengan pergaulan bebas dan segala bentuk kebebasan yang menegasikan Tuhan? Padahal kebenaran itu datangnya hanya dari Tuhan.
“Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya”. (An-Nahl : 104). [KTC]
*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan perintis Kelompok Studi Islam (KSI) Loa Kulu, serta mantan perintis dan ketua Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII), Kutai Kartanegara, Kaltim.