Iklan

Noktah Ironi Kemerdekaan

Admin
Sabtu, Agustus 18, 2012 | 06:10 WIB Last Updated 2017-03-17T02:46:45Z
KALAU mau jujur dan transparan, sesungguhnya hanya rakyat kecil saja yang lebih sering menangis dan menjerit di negeri ini. Tidak dengan mereka yang kaya dan memegang jabatan negara.

Terbukti, untuk perayaan HUT RI kemarin (17/8) negara telah menggelontorkan dana sebesar Rp. 7,83 Milyar. Tentu itu angka yang cukup besar untuk memberdayakan rakyat miskin. 

Kita harus jujur dan transparan mencerna, apa makna peringatan hari kemerdekaan di istana yang megah itu? Siapa yang diuntungkan, dan siapa yang bergembira?. 

Apa yang dibanggakan dan apa yang diteladankan. Sekali lagi, kita harus jujur dan transparan, benarkah mereka (para elit) yang memperingati kemerdekaan benar-benar memahami arti kemerdekaan. Lagi-lagi, ini harus dijawab dengan jujur dan transparan.

Negeri ini bisa dikatakan hampir kehilangan makna, hakikat, dan sejarahnya sendiri. Kita patut menduga, kepeloporan, keteladanan, dan kesungguhan para pahlawan dalam mempertahankan negara tidak lagi menjadi mainstream berprilaku para elit bangsa hari ini. 

Sungguh, tidak ada musibah yang lebih besar bagi bangsa Indonesia selain pengabaian sifat-sifat mulia para leluhur yang telah mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan bangsa dan negara. Inilah sebenarnya akar masalah segala macam persoalan yang melilit bangsa hari ini.

Punya kekayaan tetapi yang untung bukan rakyat sendiri. Mengaku berkedaulatan tetapi yang mengendalikan justru pihak asing. Menyatakan kemerdekaan tetapi kesengsaraan di mana-mana. Inilah negeri kita, negeri Indonesia yang banyak ditumpahi noktah ironi kemerdekaan. 

Logika dalam membangun negara menjadi tidak tertata. Semua berdiri atas falsafah materialisme dengan jurus aji mumpung, dan senjata undang-undang. Konstitusi dan hukum tak lebih dari sekedar jargon, prakteknya hukum dan konstitusi tak pernah menjadi rujukan. Apalagi ketika hukum berhadapan dengan koruptor, semua menjadi tidak berarti.

Memang, ada yang ditangkap tapi biasanya yang lemah, yang kecil-kecil. Kelas kakap tetap aman dan nyaman. Situasi seperti ini sesungguhnya adalah penjajahan dalam bentuk lain. Harus jujur dan transparan, bersenang-senang di atas derita rakyat sendiri itu apa namanya, kalau bukan penjajah?

Inilah sebenarnya fakta Indonesia hari ini. Masih banyak noda-noda kemerdekaan. Sayangnya, sedikit yang mau jujur dan transparan, akhrinya semua dipaksakan dalam bentuk peringatan yang boleh jadi bertolak belakang dengan semangat perjuangan dan kemerdekaan. Sejauh masalah noda-noda kemerdekaan ini belum bisa diatasi, sejauh itu pula tak akan ada kemerdekaan.

Pedihnya Derita Rakyat 
Mari sejenak kita mengenang penjajahan yang pernah dialami bangsa ini. Tak sedikit nyawa manusia melayang karena peluru-peluru biadab dari bedil dan tank-tank Belanda. Duka itu bahkan terus merambat menyayat hati. 

Bagaimana tidak, kala itu, banyak istri menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim dan terus menderita di bawah penjajahan biadab kompeni Belanda.

Tidak berhenti di situ, hasil pertanian dirampas, hasil perkebunan dirampok, dan bahkan wanita-wanita Indonesia diperkosa. Ribuan manusia digiring pada medan proyek dan dipaksa bekerja layaknya binatang. Sungguh biadab penjajahan Belanda itu. Anak-anak dilarang sekolah. Bahkan sebagian dibiarkan mati kelaparan!.

Raymond Westerling satu diantara manusia biadab dari Belanda. Ia membunuh tidak kurang dari 40 ribu warga Sulawesi Selatan tepatnya Majene dan Polewali Mandar pada 60 tahun silam. 

Kapten Raymond Westerling merupakan veteran Perang Dunia II. Ketika Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia, Westerling ditunjuk sebagai pelatih pasukan elite Belanda di Indonesia, Depot Speciale Troepen, tahun 1946. Sebagai veteran perang, Westerling memilih orang-orang yang kebanyakan kejam dan berangasan, tapi memiliki skill militer yang menonjol.

Westerling kemudian dikirim ke Sulawesi. Dia mendapat tugas untuk merebut secara total Sulawesi. Pasukan Belanda pun harus berhadapan dengan para gerilyawan Republik di sana. Maka Westerling berangkat dengan 130 pasukan baret hijau miliknya. Westerling melakukan teror di Sulawesi. 

Dia berkeliling satu kampung ke kampung lainnya dengan jeep. Di satu kampung yang diduga markas gerilyawan, Westerling mengumpulkan orang-orang di tanah lapang. Lalu dia menembaki mereka satu persatu hingga ada yang memberi tahu lokasi para gerilyawan.

Westerling juga punya hobi menembak. Biasanya jika ada gerilyawan yang tertangkap, Westerling akan menyuruhnya lari. Setelah jaraknya 50 meter, Westerling akan mengacungkan senjatanya dan, dorrr! Gerilyawan itu tewas dengan lubang di kepala, biadab, bukan?! Itu baru Westerling, bagaimana dengan pasukannya, tentu kurang lebih sama, bahkan mungkin lebih biadab lagi.

Itu yang di Sulawesi, belum yang di Rawagede yang sempat hangat di media beberapa bulan silam. Termasuk di Cianjur, Surabaya, Madura, dan hampir seluruh daratan Nusantara. Di mana-mana Belanda bertindak bagai singa kelaparan. Sungguh sangat menderita rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda.

Masih ada satu contoh kekejaman penjajah, kali ini diaktori oleh Portugis yang datang lebih awal dari negeri Eropa lainnya. Ia adalah Alfonso de Albuquerque, yang bertindak sebagai gubernur (1509 – 1515).

Begitu tiba di perairan Nusantara, ia segera menjarah semua kapal Muslim yang bisa ditemukannya antara Goa dan Malaka. Dan, orang Portugis saat itu menyebut Muslim sebagai orang Moor yang harus dibunuh (Lihat, Bernard HM Vlekke, 2008, hlm. 97 diterbitkan atas kerjasama Gramedia dan Freedom Institute).

Kemudian Albuquerque mendarat di Malaka, sebelum akhirnya menyerang Malaka sebanyak dua kali, setelah penguasa Malaka menolak rencana Portugis mendirikan benteng di tanah kekuasaanya.

Ketika berhasil menguasai Malaka, Albuquerque langsung membangun benteng. Kuburan orang Muslim tanpa ampun dia hancurkan untuk memperoleh bahan bangunan. Jelas ini mengundang amarah penduduk asli Malaka. Tindakan biadab itu dalam benak siapapun tidak bisa diterima secara akal sehat.

Tidak saja itu, Albuquerque juga membunuh pedagang utama Jawa dengan tuduhan menentang pemerintahan Portugis. Bahkan, dalam benak Albuquerque, pihaknya tidak lama lagi akan berhasil memusnahkan orang Malaka, Jawa dan seluruh Nusantara. Dikatakan oleh Vlekke, ambisi Portugis atas Indonesia sangat tidak terbatas, sekalipun armada mereka sangat terbatas.

Demikianlah angkara para penjajah yang mendambakan kebahagiaan dengan cara membunuh dan menyengsarakan bangsa lain. Sebuah catatan hitam perjalan kehidupan manusia. Jadi sungguh Eropa yang mayoritas negaranya maju karena menjajah berbangga dengan apa yang mereka raih dalam dua abad terakhir.

Fakta sejarah itu seyogyanya telah membelalakkan mata kita bagaimana darah dan nyawa penduduk Indonesia banyak menjadi korban demi imperium biadab pada masa kolonialisme-imperialisme.

Inilah yang harus disadari oleh kaum muda. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa kaya yang diperebutkan banyak kekuatan asing. Bahkan pendahulu kita mampu mengatasi mereka. Sayangnya, penguasa hari ini tidak begitu memperhatikan aspek sejarah yang sangat penting ini.

Tak Kalah Tragis
17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan. Hingga hari ini Indonesia sudah merdeka. Lalu, apakah rakyat telah terbebas dari kesengsaraan dan ketidakberdayaan?  

Secara eksplisit memang tidak ada lagi manusia yang dibunuh seperti serdadu Belanda menembaki warga. Tetapi, lihatlah perlakuan negara terhadap rakyatnya. Hari ini.

Berapa nyawa melayang karena tersengat aliran listrik bertegangan tinggi ketika tidak kebagian tempat dalam KRL? Berapa korban jiwa yang jatuh setiap hari karena kecelakaan lalu lintas? Bahkan, dilaporkan nyawa melayang karena korban lalu lintas jauh lebih banyak daripada aksi "terorisme". 

Bayangkan, betapa tersiksanya rakyat kecil yang hidup di Jakarta. Naik angkot dihantui aksi perkosaan, naik busway dilecehkan (pelecehan seksual) bahkan jalan kaki harus ditabrak mobil. Boleh dikatakan hampir semua tempat tidak memberikan kemanan dan kenyamanan.

Petani bagaimana, tidak jauh berbeda. Malah mereka terkesan tidak diperhatikan. Bahkan hanya untuk urusan garam dan kedelai saja, negeri ini pusing tujuh keliling dan akhirnya impor dari negara asing. 

Tak kalah memilukannya adalah yang miskin tetap tidak bisa sekolah, yang miskin tidak bisa berobat. Karena semua harus bayar dan negara tidak sanggup membiayai warga negaranya sendiri. Meskipun Undang-Undang secara tegas menyatakan negara bertanggung jawab terhadap mereka.

Di Kalimantan Timur, Tenggarong misalnya, warga Kutai hidup apa adanya, di sepanjang bantaran Sungai Mahakam. Kebutuhan pendidikan mereka tidak terlayani dengan maksimal. Sementara itu, setiap hari mereka melihat perahu tongkang mengangkuti mutiara hitam yang tersimpan di perut bumi Etam. 

Betapa malangnya rakyat Kalimantan Timur. Mereka punya kekayaan alam, mereka melihat, tapi mereka tak dapat apa-apa kecuali secerca. Selebihnya dinikmati orang luar negeri. 

Kembali kita harus jujur dan transparan, negara harus mengakui ini bukan sebagai otokritik, apalagi melihatnya sebagai kritik yang tidak berdasar. Tetapi semua ini harus diakui sebagai fakta nyata di depan mata yang harus segera ditangani. 

Malulah kita kepada para pahlawan yang telah merelakan apa saja miliknya untuk kemerdekaan. Jika memang sistem tata kelola yang menjadi biang kerok dari ketidakteraturan tatanan negara kita, mengapa tidak segera diganti? Alasan apa yang membuat kita harus bertahan dengan sistem itu? Setidaknya itu adalah argumentasi logis. 

Peringatan HUT RI ke depan harus dimaknai secara berbeda. Tidak cukup dengan upacara yang menelan dana luar biasa. Memperingati berarti siap meneladani sifat-sifat kepahlawanan para pejuang negara dalam sikap dan perilaku kita sehari-hari. Baik sebagai pejabat, rakyat, maupun aparat. 

Hidupkanlah nurani terdalam sebagai bangsa Indonesia. Berantas korupsi, hukum koruptor dan jadikan momentum HUT kemerdekaan sebagai momentum penguatan komitmen kita untuk bersama-sama membenahi bangsa dan negara. Jika bukan kita, siapa lagi? 

Setelah noda-noda kemerdekaan di atas telah kita bersihkan, layaklah kemudian kita menyatakan dengan lantang dan percaya diri seraya mengepalkan tangan meneriakkan: "Merdeka Indonesia, Jaya Indonesia!”.

IMAM NAWAWI
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Noktah Ironi Kemerdekaan

Trending Now

Iklan