Iklan

Cinta, Generator Perubahan

Admin
Sabtu, Maret 16, 2013 | 03:00 WIB Last Updated 2017-03-17T02:18:20Z
TIDAK ada kekuatan yang sangat dahsyat di muka bumi ini selain cinta. Kehadirannya menjadikan yang mati bangkit kembali, membuat yang layu mekar kembali, bahkan bisa menyulap yang mustahil menjadi nyata. Itulah cinta.

Cinta tak membutuhkan kekuatan lebih besar dari apa yang kita miliki. Ia akan eksis dan mengagumkan semua makhluk hanya dengan memanfaatkan apa yang kita miliki. Karena cinta secara lebih filosofis bukan sekedar rasa suka dan rasa ingin memiliki, tetapi akumulasi keyakinan akan kebenaran dan masa depan yang selalu menuntut diri untuk bisa berbagi.

Cinta dalam pengertian tersebut itulah yang saat ini langka kita jumpai. Umumnya sekarang, banyak cinta palsu, semu dan beku. Semua itu tidak lain karena cinta yang hadir ke permukaan sikap dan pribadi seseorang bukan lagi cinta yang tumbuh dari benih ilmu dan iman, tetapi ambisi dan angan-angan.

Fenomena demikian tidak saja terjadi pada individu remaja dan manusia secara umum, tetapi juga organisasi, perusahaan bahkan pemerintahan.

Maka tidak salah jika Robert Holden dalam bukunya Sucsess Intellegence mengatakan bahwa karena situasi seperti itulah banyak manusia tidak bisa bahagia, walau harta melimpah, rumah megah, dan jabatan tinggi.

Jadi, secara logika, banyak orang mencintai sesuatu yang tidak begitu diperlukan. Bahkan ada yang mati-matian mencintai sesuatu yang pasti mengarahkannya pada kehancuran. Lantas bagaimana supaya cinta kita membahagiakan?

Makna Kebahagiaan

Banyak yang menilai kebahagiaan itu apabila seseorang meraih sesuatu yang diinginkan, lebih dari yang dibayangkan atau mendapat berbagai macam fasilitas-fasilitas yang memanjakan.

Jika benar itu adalah makna kebahagiaan yang hakiki, maka saya yakin tidak akan ada satu pun wanita yang mau mengandung 9 bulan 10 hari kemudian harus ‘berteman’ dengan rasa nyeri yang luar biasa. Apalagi, kalau harus melahirkan lebih dari satu kali.

Jika benar itu adalah makna kebahagiaan saya yakin Tuhan tidak perlu mengutus utusan (Nabi dan Rasul) menurunkan Al-Qur’an, lalu memerintahkan kita semua untuk teguh pendirian, tetap dalam keimanan, memperteguh kesabaran dan jangan takut untuk berjuang dan rela berkorban.

Berarti, penilaian umum manusia terhadap makna kebahagiaan yang bertumpu dan bermuara pada kenikmatan jasadiyah adalah salah. Dua logika di atas sudah cukup memberikan bukti. Kalau begitu apa makna kebahagiaan yang sesungguhnya?

Menyalakan Iman

Makna kebahagiaan yang hakiki adalah apabila seorang manusia mampu menyalakan api keimanannya, sehingga tak pernah ragu dalam kebenaran, tak mudah lelah dalam perjuangan, tak gampang berubah pendirian, dan selalu tunduk hanya pada kebenaran.

Mungkin masih ada di antara kita yang menganggap zaman sekarang lebih baik dari zaman penjajahan, karena penduduk tidak merdeka secara fisik. Tetapi jika ditimbang secara hakiki, anggapan itu masih relatif. Karena boleh jadi nenek moyang kita lebih bahagia karena bisa tegak dan melawan kebiadaban penjajah Belanda.

Bandingkan dengan kita saat ini yang hampir setiap saat dalam hampir seluruh aspek kehidupan selalu tunduk pada konsep dan kehendak Barat.

Tidak usahlah berbicara soal politik dan ekonomi, soal sehari-hari saja, utamanya dalam urusan belajar, diduga masih cukup banyak kok anak sekolahan yang tidak masuk kelas karena waktu malamnya dihabiskan untuk menonton siaran sepak bola.

Di sisi lain, ke sekolah ternyata hanya soal seragam. Ketika di kelas kebanyakan tidak serius belajar. Ada yang sibuk sms-an, ada yang menguap bahkan tertidur karena tak kuasa menahan rasa kantuk.

Sebagian yang lain ada yang tak mau buang waktu untuk membahas hasil pertandingan tim kesayangannya di liga Eropa atau liga domestik. Parahnya lagi, mereka lebih suka dengan budaya santai.
Dalam kontek elit eksekutif, fakta mencengangkan baru saja terjadi. Indonesia yang merupakan negeri agraris ternyata mengalami kelangkaan bawang putih. Lonjakan harga kebutuhan hari-hari masyarakat itu pun tak terhindarkan.

Mengapa irasionalitas kehidupan bernegara dan berbangsa selalu terjadi terus-menerus? Hal itu tidak lain karena iman yang kropos dan padam oleh gelombang ambisi serta pretensi pribadi.

Ketika hal itu terjadi pada para pemimpin maka sebagian rakyat pun akan menduplikasi sifat tercela itu. Dan, sejauh elit negeri ini masih enjoy meminggirkan iman, maka sepanjang itu pula derita akan terus kita rasakan. Karena tidak akan ada pembangunan tanpa iman, yang ada pasti hanyalah kehancuran demi kehancuran.

Kasus Uni Eropa

Mungkin masih ada yang tidak percaya bahwa pembangunan tanpa iman hanya akan mengarah pada kehancuran. Mari kita lihat fakta terbaru dari kasus tersebut dari apa yang dialami oleh Uni Eropa dalam dua tahun terakhir.

Sejak krisis utang meletus di Yunani akhir 2009 lalu, Uni Eropa telah menciptakan sebuah mekanissme penyelamatan yang kompleks untuk menopang keuangan negara dan membantu sektor perbankan yang goyah. Tidak tanggung-tanggung, dana sebesar Rp 8000 triliun lebih digelontorkan. Namun apa yang terjadi hingga 2013 ini?

Menurut Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz, bahwa kini terdapat 26 juta orang menganggur di seluruh Uni Eropa, termasuk satu dari dua pemuda di Yunani, Spanyol dan sebagian Italia serta Portugal.

Menurutnya, jika kondisi tersebut tidak teratasi, Uni Eropa secara keseluruhan akan masuk dalam lubang kehancuran. Bagaimana tidak, secara ekonomi Uni Eropa sangat antusias untuk melakukan perbaikan sementara secara psikologis, mental para pemuda di bagian Uni Eropa justru disia-siakan. Akibatnya jelas, kondisi generasi muda di negara-negara Uni Eropa mengalami instabilitas yang sangat mungkin menggerus rasa percaya diri mereka.

Makna dan Aplikasi Cinta untuk Perubahan

Dalam situasi seperti ini tentu kita membutuhkan cinta yang mampu mengubah bangsa dan negara ini. Lantas cinta yang seperti apa dan bagaimana mengaplikasikannya?

Kita tidak punya referensi yang benar-benar valid tentang makna cinta dan cara aplikasinya selain dari manusia terbaik sepanjang masa, yakni Muhammad saw.

Dalam salah satu sabdanya disebutkan bahwa, “Tidak sempurna iman seseorang sampai saudara seimannya dicintai seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Artinya, cinta yang benar adalah cinta yang dilandasi iman dan diwujudkan dalam upaya membangun rasa persaudaraan yang hakiki.

Selanjutnya di dalam Al-Qur’an, Allah tegaskan bahwa Dia mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan penuh kasih sayang, sehingga kokoh bak bangunan yang kuat tak tertandingi.

Spirit inilah yang kemudian juga menjiwai kebudayaan di tanah air. Di Sunda ada istilah saling asah, asih, asuh, silihwangi. Secara nasional ada istilah gotong royong, berat sama dipikul ringan dijinjing bersama. Dalam konteks perjuangan, sekali layar terbentang, pantang surut ke belakang.

Itulah makna dan aplikasi cinta yang sesungguhnya. Hidup dengan berlandaskan iman, berjalan dalam kebenaran, dan berjuang untuk kemaslahatan umat manusia. Bukan diri pribadi, tetapi bangsa dan negara.

Jika mental ini ada pada diri seorang pelajar, saya yakin ia akan belajar lebih tangguh dari Einstein, Newton bahkan Thomas Alva Edison, yang tak pernah jemu belajar karena gelora cinta yang begitu besar terhadap ilmu.

Kenapa mereka jenius dan berkontribusi dalam ilmu pengetahuan, sehingga mampu mengubah wajah irasionalitas Eropa, tidak lain karena mereka belajar dengan penuh rasa cinta.

Jika ada 100 pelajar negeri ini belajar dengan cinta yang benar, maka 30 tahun ke depan wajah bangsa kita pun Insya Allah akan berubah lebih baik. Karena kesemerawutan negara kita sekarang karena tidak adanya rasa cinta yang mampu menjadi generator perubahan.*

______
*) IMAM NAWAWI, 
penulis adalah kolumnis . Ikuti juga cuitannya di @abuilmia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cinta, Generator Perubahan

Trending Now

Iklan