Iklan

Ramadhan Merugi Tanpa Prestasi

Admin
Sabtu, Juli 20, 2013 | 08:07 WIB Last Updated 2017-03-17T02:14:59Z
KEAGUNGAN Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, maghfirah, dan kemenangan sudah menjadi bahasan rutin setiap tahun. Hampir seluruh media massa begitu antusias membuat rubrik Ramadhan.

Dalam konteks historis, Ramadhan di zaman Rasulullah memberikan kesan sangat mengagumkan. Bagaimana tidak, 300 pasukan Muslim mampu mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy.

Sungguh, suatu kejadian spektakuler yang tentu menyiratkan banyak hikmah, pelajaran dan petunjuk untuk kita meraih prestasi.

Pada sisi keutamaan, Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an (QS. 2: 185) yang di dalamnya juga terdapat malam 1000 bulan atau Laylatul Qadr. Jadi, hidup di Bulan Ramadhan adalah hidup yang paling membahagiakan.

Pantas, jika kemudian Rasulullah dalam sebuah haditsnya yang populer mengatakan bahwa, sekiranya umat Islam mengerti keutamaan Ramadhan dengan sesungguhnya, tentu mereka akan meminta agar seluruh bulan sepanjang tahun menjadi Ramadhan.

Realitanya?
Akan tetapi, dalam realita, tidak banyak di antara umat Islam yang benar-benar memanfaatkan kesempatan emasnya itu untuk benar-benar menyerap dan sekaligus memendarkan cahaya ketakwaan, sebagaimana tujuan hakiki dari ibadah puasa itu sendiri.

Sebagian memanfaatkan Ramadhan hanya sebagai medium mencari keuntungan, popularitas, dan hal-hal yang bersifat semu belaka.

Silaturrahim banyak dilakukan, tetapi persaudaraan, kesepakatan, atau pun setidaknya kesepahaman untuk Indonesia yang lebih baik, masih jauh dari harapan dan memang itu agenda utama pembicaraan.

Lain hal dengan kelompok remaja, kelas manusia tanggung ini menjadikan Ramadhan sebatas untuk bersantai ria, sembari hura-hura dengan banyak agenda makan bersama. Entah ketika buka puasa atau pun sahur. Selepas itu semua, smart phone-lah teman setia mereka.

Sangat jarang yang benar-benar mau berteman setia dengan Al-Qur’an, buku atau pun majelis taklim baik di masjid maupun di televisi. Sebagian malah semakin enjoy dengan menghabiskan waktu malamnya hanya untuk ‘melototin’ televisi.

Ada gap yang jauh antara spirit Ramadhan dengan keutamaan Ramadhan. Ramadhan ternyata tidak mendongkrak spirit berkarya, spirit berprestasi atau setidaknya spirit penuh arti.

Momentum sebulan penuh ini tidak benar-benar digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan perubahan penting dari seluruh perubahan, yakni perubahan diri.

Berprestasi
Jika dalam catatan sejarah Ramadhan menjadi sebab tercapainya prestasi di zaman Nabi, maka seharusnya ada prestasi yang kita raih selama Ramadhan ini apapun bentuknya. Sebab, puasa adalah momentum untuk lebih siap bertahan meraih kemenangan.

Artinya, Ramadhan bukan alasan untuk mengendurkan produktivitas, utamanya yang berkaitan dengan produktivitas untuk berprestasi, baik secara pribadi maupun kolektif dalam bidang ibadah, mu’ammalah atau pun ukhuwah.

Ramadhan semestinya menyibukkan kita semua untuk berprestasi. Seperti teman-teman PII yang selalu aktif mengadakan Leadership Basic Training setiap Ramadhan tiba.

Atau seperti teman-teman LDK yang tak pernah melalui Ramadhan tanpa peningkatan aktivitas keilmuan di masjid, serta teman-teman di organisasi lainnya.

Demikian pula dalam konteks pribadi, kita mestinya tidak boleh ketinggalan semangat untuk berprestasi. Jika Imam Syafi’i mampu menghatamkan Al-Qur’an sebanyak 60 kali dalam Ramadhan, lantas kita mau berprestasi dalam hal apa?

Nah, pertanyaan semacam ini penting untuk kita hadirkan dalam hati, agar Ramadhan tidak berlalu tanpa arti.

Naif, jika Ramadhan kita artikan sebatas persiapan lebaran dengan hanya mempersiapkan diri untuk mengumpulkan uang dan berencana membeli segala macam atribut lebaran untuk selanjutnya narsis gaya-gayaan.

Mumpung masih sepuluh hari pertama Ramadhan, kini saatnya kita semua berkata dalam diri, “mestinya saya berprestasi di bulan suci ini”.

Prestasi Apa?
“Prestasi apa”, kalimat itu pasti muncul. Kita bisa pilih sendiri, prestasi apa yang paling penting bagi diri.

Bagi pelajar misalnya, prestasi yang penting adalah bagaimana ‘melahap’ semua mata pelajaran dengan baik, sehingga kelak bisa lulus dengan nilai memuaskan dan melanjutkan studi dengan mudah. Maka Ramadhan momentum terbaik untuk belajar lebih giat.

Bagi orang tua, bagaimana menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis dan cerdas. Maka Ramadhan kali ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan konsolidasi antara suami istri termasuk anak-anak untuk bersama-sama kembali menata kondisi rumah tangga yang diinginkan.

Demikian mungkin sekedar contoh dalam konteks status. Dalam konteks sebagai Muslim, jelas kita mesti punya prestasi yang diniatkan dari hati yang terdalam.

Misalnya, menumbuhkan kegemaran mengaji dan mengkaji Al-Qur’an, membiasakan sholat lima waktu secara tepat waktu, dan berjama’ah bagi yang laki-laki.

Fenomena sekarang agak lucu, sholat tarawih penuh, tapi sholat lima waktu tak seberapa. Padahal, sholat lima waktu hukumnya wajib.

Jika kita memiliki suatu hobi atau kegemaran, misalnya hobi membaca, maka meningkatkan bacaan atau membaca sekian buku selama Ramadhan juga patut untuk direncanakan.

Misalnya bagi teman-teman yang hobi baca buku-buku fiksi ada baiknya meningkatkan bacaannya pada buku-buku sejarah atau pemikiran.

Bagi yang baru menempa diri menjadi pembaca, bisa langsung membuat target selama Ramadhan harus habis membaca 10 buku dan seterusnya. Tentu, membaca Al-Qur’an sudah yang paling utama.

Demikian juga bagi yang hobi menulis. Ramadhan ini adalah momentum yang tepat untuk menghasilkan tulisan yang baik. Sebab puasa yang kita amalkan secara spiritual memberikan pengaruh nilai yang cukup tinggi terhadap hati, sehingga tidak mustahil tulisan yang dibuat di Bulan Ramadhan akan memiliki ‘energi’ besar yang memendarkan cahaya Ilahi.

Target Takwa
Mengapa semua itu perlu diupayakan, tidak lain agar target takwa yang menjadi tujuan utama puasa itu sendiri dapat kita raih dengan sedikit lebih mudah.

Dengan membuat target prestasi maka setidaknya kita sudah berhasil membuat komitmen terhadap waktu, sehingga tidak terjadi kesia-siaan umur.

Kemudian, dengan target prestasi, kita telah berhasil menata hidup menjadi lebih terarah dan teratur. Bandingkan ketika kita menjalani puasa tanpa target prestasi.

Mungkin tetap puasa, tetapi nilai, kesan dan kenikmatannya tidak begitu terasa, sehingga antara bulan puasa dengan tidak, sama saja.

Terakhir, sungguh puasa ini adalah ibadah yang memberikan kekuatan psikis luar biasa.

Maka sangat sayang, jika dalam kondisi batin kita lebih bisa dominan seperti itu, kita abaikan dengan cara tidak membuat rencana apa-apa untuk memberinya asupan yang dibutuhkan.

Malah bak orang buta, kita tetap asyik memanjakan lidah dengan aneka ragam rasa yang sejatinya bisa membahayakan lambung sendiri dan berakibat pada matinya hati.

Ingat, manusia itu dikatakan manusia lebih karena isi hatinya, bukan pakaian yang dikenakannya apalagi sekedar makanan yang dikonsumsinya.

Lebih jauh, kita akan dikenang bukan karena harta kekayaan atau jabatan yang dimiliki. Tetapi prestasi yang berkontribusi bagi kehidupan umat manusia, meski itu sangat kecil sekali.

Terakhir, inilah yang patut kita renungkan. Jika Ramadhan penuh berkah sudah tiba, kemudian kita tidak bergembira dan kemudian kita tidak berprestasi, lantas apa yang sebenarnya bersarang di dalam hati ini?

________
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitan-cuitannya di @abuilmia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Ramadhan Merugi Tanpa Prestasi

Trending Now

Iklan