Iklan

Negeri Heboh ”Online”

Admin
Senin, Mei 25, 2015 | 01:05 WIB Last Updated 2017-02-27T22:43:34Z
NEGERI kita tampaknya terus dilanda wabah heboh. Dari heboh soal politik, hukum, ekonomi, hingga radikalisme dan prostitusi. Semua pertunjukan itu tak lagi heboh dalam ranah ’manual’, tetapi makin menghebohkan di wilayah online.

Sesuatu yang bersosok online, kini terasa lebih menghebohkan benak masyarakat. Tak heran, bermunculan semisal ’radikalisme online’ atau ’prostitusi online’. Apalagi pada kasus ’prostitusi online’ yang melibatkan artis, gaungnya lebih menggelegar. Apa pun yang dilakukan artis, akan menjadi trending topic yang hangat-hangat sedap.

Bermula dari kasus terbunuhnya Tata Chubby, seorang pekerja seks komersial (PSK) di Jakarta, tiba-tiba semua tersentak. Lalu secara masif terjadilah penertiban terhadap rumah kos-kosan dan apartemen.

Belum usai hiruk pikuk itu, kita lagi-lagi digegerkan oleh prostitusi short time kaliber artis bertarif Rp 80 juta hingga Rp 200 juta yang dijajakan secara online alias daring (dalam jaringan). Bagi kalangan umum, tarif sebesar itu sangat fantastis, terlebih di tengah situasi ekonomi kita yang sedang malaise.

Maka, ’pengawasan moral’ pun digiatkan kembali. Seolah siuman dari tidur panjang soal moral, kini kita saksikan gerakan menumpas amoralitas.

Bahkan, ada permintaan agar Presiden menaruh perhatian khusus soal maraknya prostitusi. Tuntutan juga dibidikkan untuk mengusut para pemakai jasa prostitusi elite yang, konon, melibatkan kalangan papan atas.

Produk Industrialisasi
Inikah wajah negeri kita saat ini? Di satu fakta, negeri kita sedang dilanda heboh wabah radikalisme yang mengkhawatirkan. Di sisi lain, wabah heboh prostitusi online semakin menggemaskan.

Cukupkah pemblokiran situs porno ataupun situs radikal? Ternyata masih banyak ’jalan tikus’ lewat perkakas teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk melampiaskan tujuan.

Mengapa pelacuran terus bertumbuh, tak ada matinya? Banyak pendapat bahwa prositusi seusia munculnya manusia. Sejak masa penguasa purba telah berupaya menghardik pelacuran baik dengan hard power melalui sanksi hukum ataupun soft power melalui sanksi sosial.

Kendati ada efek yang membuat setidaknya pelacuran tunggang langgang, tetapi pelacuran terus mengendap-endap, mengular, dan membesar.

Di Yunani pada awal abad ke-6 SM merupakan periode ketika prostitusi tidak dapat dikontrol keberadaannya, terutama ketika Solon (639-559 SM) mendirikan lokalisasi pertama kalinya di Athena.

Namun, tujuan pembangunan lokalisasi berbeda dengan sekarang, karena masa itu bertujuan menolong membebaskan anak remaja (laki-laki) yang telah mencapai usia reproduksi dan menjaga agar mereka tidak melakukan perselingkuhan dengan perempuan terhormat (Nikolaos A Vrissimtzis, 2006;86).

Perkembangan zaman makin menumbuhkembangkan pelacuran sehingga berbagai modus pelacuran pun kian beragam. Di saat modernisasi menguat, pelacuran justru membiak. Apa lacur, pelacuran lalu jadi industri yang menggiurkan untuk menangguk uang. Di negeri-negeri Barat, pelacuran bahkan telah mendapatkan legalitas, semisal di Belanda.

Di negeri kita, tentu saja tidak bisa disamakan dengan negeri Barat yang permisif, fakta pelacuran menunjukkan dinamikanya. Sebagai penanda, ketika industrialisasi dipancangkan, dengan menyulap kota sebagai pusat ekonomi sehingga menjadi tumpuan perburuan nafkah, tak kecil akibat yang ditimbulkan.

Lahan desa yang makin hari makin sempit, menyempitkan mata pencarian, lalu urbanisasi terjadi besar-besaran. Hingga kini, pembangunan yang masih menempatkan kota sebagai pusat segalanya, urbanisasi tak pernah surut.

Ada fakta yang mempertontonkan betapa gadis-gadis desa yang tadinya lugu nan polos datang ke kota-kota besar dengan menggenggam mimpi indah menggapai sejahtera ekonomi, sering kali dilaluinya dengan memasuki industri pelacuran.

Runyamnya lagi, bermunculan pialang-pialang yang menjanjikan mimpi indah. Tak aneh, sampai hari ini cerita tentang perdagangan manusia masih terus memanas.

Gaya hidup dan kesenjangan
Kita hidup dalam jagat informasi yang berdampak besar dalam komunikasi antarorang. Masyarakat mudah menampilkan diri secara daring di internet, berkomunikasi, berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi serta membangun jaringan tanpa batas.

Internet memiliki peranan yang sangat signifikan demi meningkatkan marketing dan propaganda apa pun, termasuk memanjakan pelacuran. Doktrin ”saat ini, jika Anda tidak eksis di internet, Anda tidak eksis”, telah menjadi ’gizi’ baru yang ’mencerdaskan’ bagi siapa pun.

Selama ini kita terfokus pada ancaman radikalisme. Tentu beralasan karena radikalisme di negeri kini tengah mengalami peak season. Globalisasi—tulis Gary R Bunt—turut membidani lahirnya terorisme (2005:21). Pun globalisasi turut membidani ’panen raya’ pelacuran.

Oleh karena itu, mestinya kita juga harus waspada sekaligus bertindak terhadap ancaman prostitusi yang telah menjerat banyak lapisan masyarakat, baik di lapis bawah maupun di lapis mapan, terutama di kalangan anak-anak muda. Ancaman maraknya prostitusi ini akan merusak mentalitas bangsa, terutama mental suka menerabas.

Pandangan bahwa pelacuran terjadi melulu akibat impitan ekonomi sudah tidak sepenuhnya tepat. Pelacuran terus bermetamorfosa dan kian canggih. Para pelakunya sudah ’naik pangkat’ dengan sokongan peranti teknologi.

Artinya, pelacuran telah menjasad dalam syahwat hedonisme dan gaya hidup di masyarakat. Tuntutan gaya hidup yang tinggi seperti di kalangan selebritas akan mudah menjerat hasrat meraup uang dengan jalan mudah.

Bandingkan, seorang PSK cukup satu atau dua jam bisa menangguk uang yang hasilnya bisa jauh melebihi sebulan gaji anggota staf kantoran atau malahan buruh pabrik. Inilah yang kian memicu kesenjangan di masyarakat. Wajah sadis kapitalisme ini perlu diredam dengan ketegasan hukum.

Dalam masyarakat yang permisif—menyitir Nikolaos A Vrissimtzis—kehadiran prostitusi makin tak terlelakkan. Negeri kita jelas bukan penganut permisivisme. Di negeri ini banyak terpendam khazanah spiritual, moral, dan keagamaan yang bisa menjadi modalitas membangun peradaban keindonesiaan. Ini bukan sekadar jargon, melainkan perlu diwujudkan dalam kebijakan negara.

Nah, saatnya memperkuat peran pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya dalam membendung pelacuran. Kita tahu, Pemerintah Indonesia saat ini sedang berjuang keras mewujudkan ’revolusi mental’. Berseiring dengan usaha memberantas korupsi yang sudah digolongkan sebagai kejahatan luar, seperti halnya narkoba dan terorisme,perilaku amoral tentu akan membuat degradasi mentalitas anak bangsa.

Ia juga akan membahayakan peradaban adiluhung bangsa, serta mempertajam kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, semestinya tidak perlu lagi menunggu laporan keberatan dari pihak lain untuk ditindak.

____________
SAID AQIL SIRADJ, penulis adalah Ketua Umum PBNU. Artikel ini dimuat pertama kali di Koran KOMPAS, 23 Mei 2015.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Negeri Heboh ”Online”

Trending Now

Iklan