DALAM tradisi intelektual Islam manusia didefinisikan sebagai hewan yang berfikir (hayawan natiq). Berfikir logis dan argumentatif merupakan prasyarat dalam pencarian ilmu pengetahuan.
Artinya, dalam mencari ilmu pengetahuan sesorang harus mengikuti aturan befikir atau hukum-hukum berfikir yang terrangkum dalam ilmu yang disebut logika (mantiq) atau qiyas.
Secara etimologis logika berasal dari kata logos yang mempunyai dua arti: Pertama, pemikiran. Dan, Kedua, kata-kata. Jadi logika adalah ilmu yang mengkaji pemikiran.
Karena pemikiran selalu diekspresikan dalam kata-kata, maka logika juga berkaitan dengan “kata sebagai ekspresi dari pemikiran”.
Sementara itu qiyas berarti ukuran. Jika dikatikan dengan pemikiran maka qiyas berarti ukuran kebenaran berfikir. Namun secara definitif logika berarti “ilmu tentang hukum yang menentukan validitas berfikir”.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hukum befikir yang valid, akan dijelaskan difinisi logika tersebut.
Logika sebagai Ilmu Normatif
Ilmu atau sains adalah pengetahuan; tapi perlu dipahami bahwa semua sains adalah pengertahuan, dan semua pengetahuan tidak berarti sains.
Seseorang bisa tahu nama-nama berbagai anggota tubuh manusia, tapi pengetahuannya itu tidak mesti ilmiyah (saintifik). Anda mungkin tahu tentang tumbuh-tumbuhan dan benda-benda di angkasa, tapi pengetahuan anda mungkin tidak saintifik.
Sains, oleh karena itu tidak semata-mata pengetahuan, tapi pengetahuan yang sistimatis, akurat dan lengkap tentang sesuatu subyek.
Pengetahuan yang tidak sistimatis tidak dapat disebut sains, seperti juga batu-bata yang terhampar dan tidak tersusun tidak dapat disebut bangunan. Jadi, sains atau ilmu adalah pengetahuan tentang suatu subyek yang bersifat metodologis, eksak dan lengkap.
Dalam kaitannya dengan metodologi, Ilmu dibagi sedikitnya menjadi dua. Pertama, ilmu Alam (natural sciences) dan, Kedua, ilmu normatif (normative sciences).
Yang pertama membahas tentang sesuatu sebagaimana adanya (things as thay are), sedangkan yang kedua membahas tentang bagaimana seharusnya sesuatu itu (things they should be).
Logika termasuk kedalam kategori yang kedua, yaitu ilmu atau sains normatif, karena ia mengkaji pemikiran, tidak sebagaimana adanya, tapi bagaimana seharusnya.
Selain logika, terdapat ilmu normatif lainnya seperti estetika dan etika. Dalam hal ini Islam sebagai din dan pandangan hidup memiliki asas bagi berkembangnya ilmu alam, ilmu normatif, estetika dan etika.
Kaidah berfikir dan validitasnya
Karena logika merupakan ilmu normatif, maka ia memiliki kaidah befikir yang bersifat normatif, artinya logika meletakkan kaidah-kaidah atau standar bagaimana seharusnya kita berfikir.
Logika tidak menjelaskan tentang bagaimana kita berfikir (karena ini menjadi topik pembahasan ilmu psikologi), tapi bagaimana seharusnya kita berfikir. Kaidah-kaidah berfikir menyerupai kaidah etika dan estetika karena semuanya bersifat normatif.
Kaidah-kaidah berfikir dalam logika dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak, artinya benar atau tidak menurut kaidah logika. Valid atau benar menurut kaidah logika terdapat dua makna:
Pertama, tidak kontradiktif (self-contradictory) atau bebas dari sifat kontradiktif. Ini dalam logika disebut validitas formal (formal validity). Seperti misalnya mengatakan segitiga berbentuk empat persegi panjang. Segi empat berbentuk bulat. Contoh befikir yang kontradiktif adalah sbb:
| Manusia adalah makhluk yang akan mati | Mahasiswa adalah manusia | Maka mahasiswa tidak akan mati |
Argumentasi di atas salah karena kesimpulannya bertentangan (kontradiktif) dengan pernyataan (premis) sebelumnya. Seharusnya kesimpulannya, maka mahasiswa akan mati.
Kedua, sesuai dengan ralitas yang sebenarnya (agree with actual reality). Ini disebut validitas material (material validity). Seperti misalnya:
| Manusia adalah meja | Buku adalah manusia | Maka manusia adalah meja |
Argumentasi di atas tidak kontradiktif, karena kesimpulannya merupakan hasil dari dua pernyataan (premis) sebelumnya, tapi argument ini tidak valid. Mengapa? Karena apa yang dinyatakan dalam argumentasi tersebut tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Dari kedua macam validitas di atas maka logika dibagi menjadi dua macam. Pertama, Logika Deduktif, dan Kedua, Logika Induktif.
Logika Deduktif hanya melihat validitas formal suatu pemikiran atau argumentasi, maka dari itu seringkali disebut dengan Logika Formal (formal logic). Logika Induktif menekankan pada validitas material suatu pemikiran, maka dari itu disebut juga sebagai Logika Material.
Dalam logika deduktif masalah yang diangkat adalah apakah suatu pemikiran konsisten? Sedangkan dalam Logika Induktif pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah suatu pemikiran itu konsisten dengan realitas yang ada?
Yang pertama melihat bentuk (form) pemikirannya, sedangkan yang kedua meninjau substansi pemikirannya. Maka dari itu agar suatu argumentasi dihukumi sebagai valid maka ia harus memiliki validitas formal dan juga material, artinya tidak kontradiktif dan harus konsisten dengan realitas aktual.
Maka dari itu jika kita mendengar suatu pernyataan atau argumentasi, kita harus menguji argumentasi tersebut dari dua sisi, pertama apakah argumentasi itu secara logis tidak kontradiktif dan kedua apakah argumentasi itu secara substantif sesuai dengan realitas.
Elemen Pemikiran
Jika kita cermati secara seksama, maka suatu pemikiran terdiri dari dari 3 elemen penting, yaitu: Pertama, konsep (concept, tasawwur), Kedua, penyimpulan (judgment, tasdiq), dan Ketiga, penalaran (reasoning, nazar). Berikut penjabarannya.
Konsep (concept) artinya ide yang umum. Ketika kita menyatakan bahwa “manusia akan mati”, kita berbicara tentang konsep “manusia” dan konsep “mati” secara umum, bukan manusia tertentu atau kematian tertentu.
Seperti juga kalau kita menyebut kata “pesantren”, “sekolah”, “adil”, “aqidah dsb. Jadi, perkataan manusia, negara, pesantren, pendidikan, universitas, buku, kuda, dsb, adalah konsep-konsep sejauh mereka itu merujuk kepada makna suatu obyek secara umum. Konsep ini dalam ilmu logika disebut terma (term).
Penyimpulan (judgment) adalah kombinasi dari dua konsep. Ketika kita membandingkan atau menggabungkan dua konsep, sehingga kemudian menunjukkan makna baru, maka kita telah memperoleh apa yang disebut penyimpulan.
Seperti misalnya “pesantren itu bukan sekolah”, adalah penyimpulan dari perbandingan konsep “pesantren” dengan konsep “sekolah”, atau “manusia adalah makhluk sosial” adalah penyimpulan dari kombinasi konsep manusia dan konsep makhluk sosial. Jadi, penyimpulan (judgment) terdiri dari dua konsep dan dalam logika penympulan disebut proposisi atau premis.
Lalu, Penalaran (reasoning) adalah suatu proses deduksi yang ditarik dari dua penyimpulan atau lebih. Jika kita mengatakan “Semua orang Jawa adalah orang Indonesia, maka tidak ada orang Jawa yang bukan orang Indonesia”, maka kita telah melakukan penalaran (reasoning).
Karena hanya terdiri dari dua proposisi maka ini disebut deduksi langsung (immediate inference). Akan tetapi jika penalaran itu kita lakukan dengan meletakkan dua proposisi, maka disebut deduksi tidak langsung (a mediate inference atau syllogism). Seperti misalnya begini:
| Manusia akan hewan berfikir | Mahasiswa adalah manusia | Maka, mahasiswa adalah hewan berfikir |
Jadi, dalam penalaran, kita menggabungkan satu atau lebih proposisi atau premis dengan proposisi yang lain untuk mencapai kesimpulan (conclusion). Ini dalam logika disebut dengan argumentasi.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa yang disebut pemikiran itu berasal dari konsep yang digabungkan dengan konsep-konsep lain sehingga membentuk proposisi dan dari gabungan proposisi itulah kita memperoleh pengetahuan baru.
Menguji suatu argumentasi
Jika kita menemukan suatu pemikiran maka yang pertama-tama kita uji adalah konsepnya. Apakah konsep dalam suatu argumentasi itu jelas dan dapat kita terima atau masih menjadi masalah yang diperdebatkan.
Jika pun konsep itu jelas yang tidak lagi diperdebatkan, kita harus juga menguji apakah dalam perspektif lain (secara sosiologis, secara politis, secara Islam dsb) konsep itu dapat diterima.
Jika konsep-konsep yang kita temukan itu tidak ada masalah, maka selanjutnya kita harus mengujinya apakah gabungan konsep dengan konsep yang lain dalam argumentasi itu dapat diterima dan tidak menimbulkan kerancuan.
Konsep Islam, misalnya sudah jelas, tapi ketika digabungkan dengan konsep liberal dan menjadi “Islam liberal”, maka terjadi kerancuan. Sebab Islam berarti berserah diri, sementara liberal artinya bebas, maknanya kontradiktif. Seperti juga gabungan konsep kafir dan saleh, menjadi “seorang kafir yang saleh”, juga “kolonialis yang humanis”, “perampok yang moralis” dsb.
Jika gabungan konsep-konsep suatu argumentasi tidak perlu dipermasalahkan, maka kita perlu mengujinya apakah kesimpulannya sesuai dengan premis-premis yang diberikan sebelumnya. Disini pengetahuan kita tentang logika formal sangat diperlukan.
Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, maka jelaslah bahwa befikir logis artinya berfikir sesuai dengan kaidah-laidah ilmu logika. Dan, berfikir argumentatif adalah berfikir dengan menggunakan argumentasi yang valid seperti yang diatur dalam ilmu logika tersebut.
_____________
HAMID FAHMY ZARKASYI, penulis adalah cendikiawan muslim dan Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS). Artikel ini dikutip dari laman pribadi beliau hamidfahmy.com