Terwujudnya Perubahan​ dan Totalitas

Parentnial Newsroom

Catatan Imam Nawawi


KETIKA dulu kita duduk di bangku Sekolah Dasar, mungkin ada di antara sampul buku kita bertuliskan; “Rajin Pangkal Pandai”.

Sebagai anak-anak, ungkapan itu tidak begitu berkesan, terlebih bermain memang aktivitas rutin yang mengasyikkan. Jadi, bermain itulah mainstream dunia kita kala itu.

Dan, umumnya, para orangtua, para guru, tidak banyak yang mau menyentuh ungkapan-ungkapan itu dalam nasehat-nasehat mereka ketika itu. Apalagi dengan logika penjelas yang bisa diterima akal anak-anak SD, SMP bahkan mungkin sampai sekarang di tingkat SMA.

Baca Juga

Hanya beberapa anak yang beruntung bisa mendapatkan makna di balik ungkapan, dan nasehat yang memancing nalar sehat mereka bekerja lebih aktif memahami dan mendorong hati untuk berkomitmen mewujudkannya.

Fakta itu ada. Dan, saya mendapatkannya dari seorang Muzammil Hasbalah, yang menguraikan perjalanan hidupnya dalam ajang The Change Maker Award yang diselenggarakan oleh Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) Baitul Maal Hidayatullah (BMH).

Muzammil tidak satu pun menyebutkan pepatah umum yang saya nukil di atas. Tetapi, penjelasan tentang perjalanan hidupnya adalah manivestasi dari ungkapan “Rajin Pangkal Pandai”.

Satu hal yang dipelajari dengan sangat tekun alias sangat rajin sejak Muzammil berusia tiga tahun adalah bagaimana bisa membaca Al-Qur’an bersama kedua orang tuanya.

Nampaknya, orang tua mengerti metode, sehingga Muzammil tidak sekedar rutin melakukan aktivitas mulia di usia anak-anak itu.

Secara otodidak, Muzammil selalu berupaya menirukan bacaan-bacaan Al-Qur’an dari para qari’ (pembaca Al-Qur’an yang fasih) setiap kali mendengarkannya dari masjid sesaat sebelum adzan berkumandang.

Dengan kata lain, mengapa seorang Muzammil bisa menjadi arsitek lulusan ITB dan bacaan Qur’annya bagus plus mendapatkan kesempatan dari Allah belajar dari seorang Syeikh dari Yaman di Bandung yang memiliki kemampuan membaca 7 jenis bacaan Al-Qur’an lengkap dengan sanadnya, tidak lain adalah karena sejak belia, Muzammil sudah memupuk apa yang penting bagi dirinya, dan itu adalah membaca Al-Qur’an.

Kini Muzammil telah dikenal di seluruh jagat Nusantara dengan bacaan yang memikat hati dengan suaranya yang merdu.

Bahkan, dari sosok Muzammil kita akan semakin mengerti bahwa lahirnya saintis-saintis Muslim abad modern mulai menunjukkan eksistensinya. Sebab, Muzammil bukan sekedar bisa membaca Al-Qur’an, tetapi juga menguasai ilmu arsitektur yang dipelajarinya di Institut Teknologi Bandung.

Dan, semoga ini benar terjadi, sehingga akan lahir lagi banyak kader Muslim yang menguasai sains disaat yang sama juga faham dengan Al-Qur’an. Seperti dulu hadir Ibn Sina, Fakhruddin Al-Razi, Ibn Haytam, Al-Jabar, Al-Khawarizmi, dan lain sebagainya yang begitu bersinar dalam sejarah peradaban Islam.

Ahsantum​

Rasulullah bersabda, “Jika kebaikanmu menyenangkanmu dan kejahatanmu menyusahkanmu, maka kamu adalah seorang mukmin “ (HR. Ahmad).

Artinya, nalar seorang Muslim adalah nalar yang terus mendorongnya melakukan kebaikan demi kebaikan.

Dan, kebaikan itu bisa berhubungan dengan orang lain atau dimulai dari diri sendiri. Toh, pada akhirnya itu akan mewujud dalam muara yang sama, yakni terwujudnya perubahan.

Sosok Muzammil misalnya, telah mengubah kesan orang umum bahwa seorang mahasiswa di luar studi agama Islam tidak bisa menghafal Al-Qur’an dan membacanya dengan benar. Anggapan itu, kini telah terbantahkan, dan opini publik telah bisa diubah.

Sementara itu, di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” (QS. Al-Isra [17]: 7).

Kemudian, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS. Ar-Rahman [55]: 60).

Lantas bagaimana operasional kebaikan itu dilakukan?

Ternyata hal itu bisa dirujuk pada terjemah dari kata baik, yakni “ihsan”. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Janib Al-Athifi min Al-Islam menjelaskan “Ihsan” sebagaimana kejujuran, tidak bisa dilakukan secara setengah-setengah.

Dengan kata lain ada energi fokus dan totalitas dalam melakukannya. Silakan saja dicek dalam sejarah, bagaimana seorang Imam Syafi’i menjadi ulama hebat, tidak lain karena memang sejak belia sangat tekun dan rajin belajar. Saat dewasa, ia menjadi agen perubahan besar dalam kehidupan umat Islam.

Lebih lanjut Muhammad Al-Ghazali menuliskan, “Berbuat ihsan (kebaikan) adalah melaksanakan urusan dunia sekaligus ibadah mahdhah, sejalan dengan ketentuan, tuntutan dan tuntunan agama”.

Jadi, mesti ada tekad baja dalam diri, ketika kita menekuni suatu bidang. Bahwa hari ini profesi, karya dan dedikasi yang kita berikan belum memberikan dampak perubahan, itu bukan berarti pintu kebaikan tertutup.

Terus asah dan kelak akan terbukti apa yang dipahami orang Melayu dengan ungkapan indahnya “Belakang parang pun jika diasah, akan tajam juga”.

Dalam konteks ini, kita bisa mengambil pelajaran dari seorang Mario Balotelli, pemain timnas Italia. Ia sudah masuk skuad klub-klub elit Eropa, kemudian tergelincir dan terpental, karena permainannya dinilai tidak konsisten bahkan cenderung anjlok.

Di sini kita bisa memahami bahwa memang benar ungkapan bijak, “Bakat akan dikalahkan oleh kesabaran”.

Sementara itu, kebaikan dalam pandangan kejiwaan sangatlah mendukung kebaikan dalam diri seseorang.

Ibn Tamiyah dalam bukunya Amradh Al-Qulub wa Syifa’uha menjelaskan bahwa kebaikan-kebaikan itu akan menerangi hati, menguatkan badan, memberikan cahaya pada wajah, melapangkan rezeki, dan mendatangkan kecintaan di dalam hati umat manusia.

Penjelasan itu memberikan jawaban dari pertanyaan, mengapa para ulama terdahulu dengan kondisi tidak ada laptop, listrik dan printer, namun bisa menghasilkan banyak sekali karya hebat lagi bermanfaat. Bandingkan dengan saat ini?

Oleh karena itu, daripada sibuk memikirkan apa yang sedang viral di media sosial, sebaiknya temukan dalam diri, kebaikan apa yang akan membantu saya ikut serta mendorong terwujudnya perubahan.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Barang siapa bersandar pada harta, ia akan miskin. Barang siapa bersandar pada harga diri, ia akan hina. Barang siapa bersandar pada akalnya, ia akan tersesat. Namun, barangsiapa bersandar pada Allah, sesungguhnya ia tidak akan pernah miskin, hina dan sesat”.

Jadi, atas dasar keimanan dalam hati kita, mari kita wujudkan kebaikan-kebaikan di setiap hari, meski itu kecil secara terus-menerus dari sekarang.

Kebajikan yang konsisten itulah jalan yang memungkinkan diri kita ikut serta mendorong terjadinya perubahan, baik bagi diri, keluarga, maupun masyarakat, bangsa bahkan negara.*

__________
*IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis nasional.news dan aktifis sosial.

Baca Juga Lainnya

Potret Nikah Cerai di Kaltim Tahun 2024, Menelusuri Jejak Cinta dan Perpisahan

Parentnial Newsroom

TIDAK ada yang lebih menggugah hati daripada angka-angka yang membisikkan cerita di balik kehidupan manusia. Setidaknya, itulah yang mencuat saat ...

Pelajaran dari ‘Adolescence’ Serial Netflix yang Menggugah tentang Kekerasan Remaja

Rahmat Hidayat

SERIAL drama Inggris terbaru, “Adolescence,” yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025, telah menjadi fenomena global dengan lebih dari ...

Analisis Data Perceraian di Jakarta Barat 2025, Biang Keroknya Ekonomi dan Selingkuh

Fadliyah Setiawan

APA sebenarnya yang mendorong ratusan pasangan di Jakarta Barat mengakhiri ikatan suci pernikahan mereka? Data terbaru dari Pengadilan Agama Jakarta ...

Peacock Parenting, Gaya Didik Kekinian yang Terlalu Fokus ke Pencitraan Anak

Fadliyah Setiawan

KAMU pernah denger istilah “peacock parenting”? Bukan, ini bukan tentang burung merak yang suka pamer bulu. Tapi gaya parenting baru ...

Pelajaran dari Kasus Baim dan Paula, Mengapa Netizen Perlu Menghormati Batas Privasi

Muhammad Hidayat

DI masa masa seperti sekarang dimana akses informasi begitu mudahnya dan ruang digital yang serba terhubung, kehidupan pribadi figur publik ...

Ketika Hubungan Baru Terasa Kayak Ulangan Masa Lalu

Keluargapedia Staf

PERNAH nggak sih, kamu ngerasa kayak hubunganmu yang sekarang tuh mirip banget sama yang dulu? Bahkan pola berantemnya, sikap pasangan, ...

Tinggalkan komentar