Seorang lelaki bisa menikah dengan seorang wanita, tanpa didahului dengan saling mencintai (berpacaran). Mereka hanya menikah lalu tumbuhlah cinta seiring perjalanan waktu yang mereka lewati sebab mereka punya komitmen.
Ilustrasi: pengantin dan sekumpulan wanita sedang bercengkrama (source: Pexels) |
Banyak yang saya kenal kawan yang menikah dan sama sekali tidak pernah melihat wanita yang akan dinikahinya seperti apa nampaknya.
Ia menikah, dengan anak yang berlimpah. Hanya dengan cinta yang perlahan tumbuh seiring waktu, dan hingga hari ini ia baik-baik saja.
Tapi ada yang menikah dengan dasar cinta, hidup penuh romansa, masa perkenalan sepanjang pulau Sumatera. Hari ini menikah, esoknya berdua menikmati senja, tapi dua tiga hari kemudian gugatan cerai melayang kepengadilan agama.
Seseorang mengeluh kepada Umar bin Khattab bahwa cintanya kepada isterinya telah memudar dan ia bermaksud menceraikannya.
Umar menasehati begini:
“Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Dimana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai sepasang suami isteri telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?”
(Lihat Hasyiyah ‘ala Syarh al-Minhaj (3/441-442) oleh Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Abu al-Laits as-Samarqandi dalam kitab Tanbih al-Ghafilin (halaman 518) dan Ibn Hajar al-Haitami di kitab az-Zawajir (2/80)
Sekali lagi, komitmen. Komitmen itu bernama mitsaqon ghaliza. Apa sesungguhnya mitsaqon gholiza itu?Kata “mitsaq” dalam Bahasa Arab berarti “janji” atau “piagam perjanjian”. Sama seperti “wa’d”. Namun, secara penekanan, “mitsaq” lebih kuat ketimbang “wa’d”.
Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Imam Jalaludin As Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menyebut “mitsaq” sebagai bentuk taukid (penekanan/ penguatan/ penegasan) dari sebuah janji. Ia adalah komitmen, lebih dari sekadar janji.
Sedangkan, kata “ghalizha” berasal dari kata “ghilzh” yang berarti kuat, berat, tegas,keras, kokoh, teguh. Varian katanya yang cukup populer misalnya ketika kita belajar Fiqih Thaharah ada istilah “najis mughalazhah” (najis yang berat).
Dalam Al Qur’an ada banyak varian kata “ghilzh”, misalnya dalam Surat At Taubah ayat 123 atau berbentuk fi’il amr (kata kerja perintah) “waghluzh” pada At Taubah ayat 73 dan At Tahrim ayat 9.
Miitsaaqan Gholiza, maknanya, mereka telah mengambil perjanjian yang berat yang ditekankan dengan penekanan tambahan, dengannya sulit melanggarnya, seperti sebuah baju yang tebal yang sulit merobeknya. (Mahasin Ta’wil 3/57).
Kalau kita buka Al Quran di sana kita akan temui setidaknya ada tiga kali Allah menyebutkan kata atau farsa ini, yaitu dalam surat An Nisa ayat 21, An Nisa ayat 154, dan Al Ahzab ayat 7.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [An Nisa: 21]
وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
"Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud”, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.” [An Nisa: 154]
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” [Al Ahzab: 7].
Menariknya, diksi Mitsaqan Ghalizha dalam konteks pernikahan hanya Allah gunakan pada surah An Nisa ayat 21.
Sedangkan di dua surah yang lain, istilah tersebut dijadikan sebagai kata-kata terakhir di ayat yang mengisahkan perjuangan dakwah para nabi dan rasul.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” [At Taubah: 123]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” [At Taubah: 73 dan At Tahrim: 9]
Mufassir Ibnu Katsir saat menafsirkan term Mitsaqan Ghalizha dalam Surat An Nisa ayat 21, ia mengutip sebuah hadits shahih dari Jabir dalam Kitab Shahih Muslim yang menyatakan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil perempuan dari orangtuanya untuk dinikahi berarti dia telah melakukan perjanjian atas nama Allah sebagaimana Dia telah menghalalkannya dengan Kalimat Allah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ فِي النِّسَا ِٕ ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللّٰهِ ،وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّٰهِ
“Bertaqwalah kepada Allah dalam perkara perempuan-perempuan itu, sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan halal bagi kalian kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”(HR. Muslim no 1218)
Cobalah untuk kita renungkan bersama, sudah banyak waktu yang kita habiskan bersama istri namun semuanya hancur hanya dikarenakan hal yang sangat sepele.
فلرب شهوة ساعة أورثت حزنا طويلا
"Betapa banyak syahwat sesaat mewariskan kesedihan yang begitu lama"
NASER MUHAMMAD