Iklan

Infodemic di Masa Pandemi Turut Pengaruhi Ibu Menyusui

Fiqih Ulyana
Rabu, Agustus 04, 2021 | 16:30 WIB Last Updated 2021-08-04T09:39:25Z


JAKARTA - Peneliti Utama serta Founder & Chairman Health Collaborative Center (HCC), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, mengatakan berbagai informasi palsu atau hoax menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh tenaga kesehatan (nakes) dalam mempertahankan ibu menyusui dan ASI eksklusif.


Oleh karena itu, Dr. dr. Ray Wagiu berharap pemerintah dan semua pihak terkait harus terlibat dalam melakukan pengendalian infodemic atau informasi kesehatan yang tidak akurat alias hoax. 


"Pemerintah dan stakeholder wajib punya kebijakan ketat dalam pengendalian hoax. Ibu enggan atau khawatir datang ke fasiltas kesehatan selama pandemi covid 19 karena mereka banyak menyerap informasi yang tidak benar beradar di media sosial," kata  dr. Ray di acara media brief dalam rangka Pekan Raya ASI Sedunia 2021 secara daring, Rabu (4/8/2021). 


Menurutnya, infodemic menjadi salah satu faktor yang membuat dokter kewalahan mempertahankan ibu menyusui dan ASI ekslusif karena lebih mereka dipengaruhi dengan informasi laktasi di sosial media. 


"Dari kondisi ini yang bisa kita lakukan adalah memerangi hoax. Jangan meng-entertain narasumber yang tidak kredibel karena narasumber yang tidak kredibel akan menjadi grand hoax dan mereka akan menjadi musuh terbesar," imbuhnya.


Dokter yang memiliki pengalaman penelitian bidang laktasi dan nutrisi serta kedokteran kerja ini, mengemukakan bahwa dampak pandemi terhadap pelayanan kesehatan untuk ibu dan bayi menjadi tidak sederhana, ditambah lagi dengan meluasnya infodemic di tengah masyarakat. 


Karenanya, pihaknya memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan penelitiannya yang menemukan bahwa 62 persen tenaga kesehatan Indonesia kesulitan mempertahankan ibu menyusui dan memberi ASI eksklusif. 



"Penting sekali negara melakukan investasi di bidang inovasi pelayanan ibu anak terutama pelayanan menyusui ana ASI ekslusif. Inovasi yang paling penting adalah telemedicine dan memberikan beragam fasitas online dan fasilitas lain secara tidak tatap muka yang terbukti bisa secara klinis membantu mempertahankan ib memberikan ASI ekslusif yang merupakan hak kesehatan utama bayi," kata Ray. 


Ia pun mengingatkan bahwa bonus demografi Indonesia 2045 tergantung dari anak anak dan bayi sekarang. "Mereka akan berusia 15 atau 20 tahun kedepan, mereka adalah bonus demografi kita," imbuhnya. 


Menurutnya, temuan penelitian pihaknya ini antiklimaks dari momentum Pekan ASI Sedunia di tengah pandemi ini yang bertemakan Lindungi ASI Tanggungjawab Bersama. Apalagi tingginya angka tenaga kesehatan Indonesia yang mengakui kesulitan dalam mempertahankan ibu memberikan ASI eksklusif karena banyak faktor.


“Penelitian kami menemukan data bahwa ternyata selama pandemi Covid-19, para tenaga kesehatan terutama di layanan primer mengakui kesulitan mempertahankan ibu untuk menyusui karena ketidak-tersediaannya layanan antenatal care atau pemantauan kehamilan dan menyusui secara daring," katanya.


Sementara, masih dalam penelitiannya, hampir 50% pasien ibu hamil dan menyusui memutuskan untuk mengurangi jumlah kunjungan serta posyandu dan puskesmas mengurangi pelayanan ibu hamil dan menyusui. Akibatnya kesempatan konseling laktasi terganggu. 


"Ini bisa akibatkan ibu menyusui gagal ASI eksklusif karena penelitian membuktikan peran tenaga kesehatan sangat kritikal dalam keberhasilan menyusui”, katanya.


Dia menjelaskan, ASI terbuti dapat meningkatkan human capital sehingga amat menekankan agar pemberian asupan ASI dilakukan sebaik baiknya di awal kehidupan anak dengan cara melindungi ibu serta melindungi tenaga kesehatan supaya sukses mempertahan ibu menyusui.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Infodemic di Masa Pandemi Turut Pengaruhi Ibu Menyusui

Trending Now

Iklan