Iklan

Gerakan Nasional Sehat Spiritual

Admin
Sabtu, Juli 30, 2011 | 00:00 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z














BARANGKALI setiap orang sepakat bahwa jika ada orang yang terserang demam dikategorikan orang yang sedang sakit dan memerlukan obat. Demikian pula dengan mereka yang terbaring di rumah sakit, otomatis mereka sedang sakit. Namun sepakatkah kita jika para koruptor, penjahat, dan pembohong sebagai orang yang sakit?

Kalau kita sepakat, rumah sakit untuk mengobati penyakit koruptor itu belum tentu bisa kita dirikan. Tapi kalau pemerintah yang sepakat, dan segera mendirikannya, maka jelas Indonesia akan terbebas dari penyakit jiwa yang sangat destruktif itu. Jika tidak maka negeri ini akan menjadi sarang penyakit. Awalnya sakit jiwanya, lambat laun hancur semuanya.

Sebab jiwa yang sakit tidak mengenal kata puas. Jika ada yang berbeda pendapat dengannya maka tak segan-segan ia akan membunuhnya dan siapa saja yang tidak sepakat dengannya. Jika ia menjabat, maka ia ingin selama mungkin menikmati kursi kehormatan itu. Lihat saja sejarah Suharto, dan Husni Mubarrok sebagai sampel.

Seperti halnya penyakit fisik, penyakit jiwa yang parah dan sangat membahayakan kehidupan umat manusia maka amputasi adalah obatnya. Korupsi itu busuk dan kalau dibiarkan akan menjalar dan menimbulkan bahaya besar kepada yang lain, maka harus diamputasi. Bagaimana cara mengamputasi penyakit jiwa jenis korupsi itu? Kita patut belajar kepada China.

China langsung menghukum mati pejabat yang terbukti korupsi. Tidak lama ini Selasa (19/7) China telah mengeksekusi mati dua mantan pejabat lokal yang terbukti menerima suap. Keduanya ialah wakil mantan walikota Hangzhou dan mantan wakil walikota Suzhou.

Dalam tradisi Islam, ada hadis yang sangat populer, Qulil haq walauu kaana murron; sampaikanlah kebenaran itu walau pahit akibatnya. Kaitannya dengan amputasi jiwa koruptor, tidak mungkin eksekusi tersebut terlaksana manakala penegak hukum negeri ini tidak mengetahui atau pura-pura tidak tahu akan kebenaran itu sendiri.

Sapu Bersih
Orang tua kita sering mengatakan, “Tidak mungkin sapu yang kotor bisa membersihkan lantai!” Artinya amputasilah para koruptor itu. Jika tidak maka negeri ini akan menjadi sarang penyakit yang dapat mempercepat datangnya ‘kiamat’.

Ada kisah menarik dari sebuah hikmah rasionalitas dan keadilan. Di zaman dulu ada seorang peternak keledai yang ketika dalam perjalanan melihat anak sapi, dia berupaya keras menjadikan anak sapi milik peternak lain mengikuti kumpulan ternak keledainya. Upayanya pun berhasil, dengan santai dia berjalan penuh kegembiraan.

Beberapa saat kemudian, peternak sapi baru menyadari kalau seekor anak sapinya telah raib. Ia pun berusaha melakukan klarifikasi kepada peternak keledai. Peternak sapi pun melihat dengan jelas bahwa anak sapi miliknya ada dalam rombongan keledai tadi. Tetapi pemilik keledai mengelak dan mengklaim bahwa anak sapi itu adalah miliknya.

“Walaupun wujud anak keledai itu seperti sapi, ia tetap anak keledaiku,” tegas peternak keledai. Melihat sikap peternak keledai yang keras kepala. Peternak sapi pun mengadukan masalahnya kepada pengadilan. Apa hendak dikata, dalam tiga kali jadwal pengadilan, peternak keledai selalu berhasil menyogok sang hakim. Dua kali pengadilan, dua kali peternak keledai itu menang perkara.

Pada pengadilan ketiga, peternak keledai berusaha menyuap hakim sebagaimana hakim satu dan hakim dua. Itu dia lakukan agar perkaranya dimenangkan. Tetapi hakim ketiga menjawab, “maaf peternak keledai, saya tidak bisa membuat keputusan saat ini juga, karena saya sedang haid”. Mendengar ucapan hakim ketiga, peternak keledai keheranan. “Bukankah anda lelaki, bagaimana mungkin anda haid?”

Hakim ketiga pun menjawab dengan penuh kewibawaan, “Bukankah yang anda klaim milik anda itu anak sapi, bagaimana mungkin keledai melahirkan anak sapi.” Pada hakim ketiga-lah keadilan baru rasional dan keadilan dapat ditegakkan.

Jadi sapu yang bersih itu sangat kita perlukan. Penegak hukum yang benar-benar berdiri di atas landasan rasionalitas, kebenaran dan keadilan mendesak untuk didistribusikan ke seluruh lembaga penegak hukum negeri ini. Kalau tidak kita akan menjadikan yang keliru sebagai benar dan benar sebagai keliru. Seperti yang selama ini kita saksikan bersama-sama.

Gerakan Sehat Spiritual
Sayyid Mujtaba Musawwi dalam bukunya “The Inspiring Qur’an to Change Crisis be Succes,” menyatakan bahwa orang jahat (baca: sakit jiwanya) bukan berarti orang yang tidak pandai. Mereka seringkali lebih pandai daripada polisi dan hakim. Bahkan beberapa memperlihatkan adanya mental yang unggul, efektif dan melakukan aktivitas estetis. Hanya saja sisi moral mereka tidak berkembang.

Pertumbuhan moral yang tersendat atau terhambat akan memunculkan beragam penyakit kejiwaan. Di antaranya ialah sifat kikir, iri, dengki, ketakutan, kelicikan, prasangka, ketakterdugaan, ketidaadilan dan ratusan sifat buruk jenis lainnya. Pada akhirnya jika moral dibiarkan terpenjara maka manusia itu akan menjelma pada hilangnya nurani dan kebutaan spiritual.

Ironisnya kebutaan spiritual ini lebih cepat menular dari pada flu burung. Lihat saja budaya bertelanjang dada kaum hawa. Walaupun masing-masing kaum hawa Indonesia tidak berkenalan satu persatu dengan artis Hollywood, dengan sukarela sebagian besar dari mereka keluar rumah dengan dada terbuka bahkan agar lebih lengkap, dicat pula rambutnya.

Demikian pula di pemerintahan. Desentralisasi yang diperjuangkan dalam reformasi ternyata lebih digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dari pada mensejahterakan rakyat. Artinya otonomi daerah lebih merupakan media untuk melakukan kejahatan yang sama sebagaimana pernah dilakukan oleh pemerintahan pusat ketika menganut sistem sentralisasi.

Fakta ini menunjukkan bahwa bangsa ini perlu rumah sakit jiwa khusus. Rumah sakit jiwa yang benar-benar mengobati penyakit batin manusia yang merupakan inti dari eksistensi manusia itu sendiri. Sepintas pekerjaan ini cukup sulit untuk dilakukan.

Tetapi menurut Mujtaba Musawi, seluruh jenis penyakit jiwa tidak ada bedanya dengan penyakit raga seperti demam biasa, sakit tenggorokan, sakit perut dan seterusnya. Bagaimana mengobatinya? Tentu dengan cara kembali pada ajaran Islam.

Kita tidak boleh lagi apriori dengan asumsi sederhana bahwa Islam adalah solusi. Justru Islam itulah obat dari penyakit jiwa yang melanda sebagian besar pejabat dan rakyat Indonesia.

Negeri ini bukannya kekurangan Undang-Undang tetapi kekurangan orang yang sehat spiritual. Dengan demikian adalah langkah tepat jika bangsa ini mencanangkan program membangun “Gerakan Nasional Sehat Spiritual”.


*Penulis adalah kolomnis www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Gerakan Nasional Sehat Spiritual

Trending Now

Iklan