Iklan

Momentum Ramadhan dan Keindonesiaan Kita

Admin
Sabtu, Agustus 13, 2011 | 06:00 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z













SEBENTAR lagi kita akan memperingati Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dalam kesempatan catatan akhir pekan kita kali ini, saya tertarik untuk sedikit mengulas tentang momen Ramadhan dalam kaitannya dengan Indonesia dan Keindonesiaan kita hari ini. Ada hal menarik di sana yang semoga saja dapat menjadi bahan perenungan kita bersama.

Hal yang istimewa kembali terjadi di tahun ini. Ramadhan dan peringatan hari kemerdekaan Indonesia berlangsung dalam satu kesempatan. Sungguh sangat luar biasa. Ahmad Mansur Suryanegara dalam karyanya “Api Sejarah,” merekam bahwa 17 Agustus 1945 bertepatan dengan hari Jum’at, 9 Ramadhan 1364 Hijriyyah.

Sekiranya bangsa ini mengakui Hijriyyah sebagai kalender resmi, tentu setiap 9 Ramadhan kita akan memperingati hari kemerdekaan negara kita. Adalah sesuatu yang sungguh sangat luar biasa, sekali lagi. Sebab bangsa ini akan selalu termotivasi untuk berbuat dengan landasan nilai-nilai Ilahiyah. Selain itu secara psikologis hal ini tentu akan mendorong para pemangku amanah rakyat yang duduk di atas sana untuk bekerja secara maksimal, berlaku jujur, dan adil.

Momentum ini tentu bukan sebuah kebetulan atau sekedar sesuatu yang berjalan biasa saja. Seperti pemahaman kaum sekularis yang kini banyak mendominasi wajah media tanah air. Jika demikian cara pandang yang didahulukan maka hal ini sama dengan membiarkan beku indera dan akal sehat kita sebagai manusia.

Tentu ada maksud besar mengapa Allah SWT mentakdirkan kemerdekaan Indonesia pada bulan suci Ramadhan dan momen bersejarah itu terulang kembali di tahun ini. Kita merayakan HUT RI ke-66 tersebut bertepatan di bulan Ramadhan ini.

Seperti dalam kasus perang Badar, Ramadhan bagi bangsa Indonesia memberi kenangan indah penuh hikmah, rahasia, spirit, nilai kejuangan dan heroisme yang akan selalu dikenang sepanjang sejarah.

Merupakan satu langkah tepat dan strategis jika kita sebagai generasi muda terkini, kembali membuka lembaran sejarah bangsa ini dengan penuh kecintaan dan kecermatan. Dengan demikian insya Allah analisa kita tentang masa depan bangsa tidak akan salah jalan. Bahkan, insya Allah, kita tidak akan mudah tertarik menjadi burung beo yang selalu suka meniru gaya bangsa asing.

Bagaimana bangsa ini bisa memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga kita menjadi satu-satunya bangsa terjajah di Asia Tenggara yang proklamasinya menggunakan bahasanya sendiri, bukan bahasa penjajah.

Bagaimana bisa, negeri kepulauan yang oleh Geolog dan Fisikawan Nuklir asal Brazil, Prof. Arysio Santos diklaim sebagai pusat peradaban Atlantis yang diimpikan para filosof Yunani itu, kini menjadi satu-satunya negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Apa hikmah dibalik ini semua? Mari kita kaji dengan seksama.


Padamnya Api Sejarah

Seluruh bangsa Indonesia pasti mengenal nama Wali Songo. Apalagi mereka yang pernah berziarah ke pulau Jawa dan menyempatkan diri menghirup udara di area pemakaman para wali sembilan itu. Tentu dapat dipastikan bahwa Wali Songo itu nyata dan menyejarah.

Sayangnya sejarah Wali Songo kini tak lagi banyak dikaji pemuda negeri ini. Padahal suka atau tidak suka, fakta sajarah menyatakan bahwa Wali Songo itulah para pionir berdirinya bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945 ( 9 Ramadhan 1364 H).

Satu dari sembilan wali itu bernama Syarif Hidayatullah, kini namanya menjadi nama universitas Islam terbesar di Indonesia (UIN Jakarta) berhasil membangun tiga kekuasaan politik Islam di Jawa Barat; Banten, Jayakarta, dan Cirebon.

Dalam satu riwayat disebtukan bahwa Sultan Babullah dari Kesultanan Ternate ternyata masih memiliki garis keturunan dengan Syarif Hidayatullah yang juga dikenal dengan julukan Sunan Gunung Djati.

Pada 22 Juni 1527 (22 Ramadhan 933 H) ditemani Fatahillah, Sunan Gunung Djati membangun Jayakarta. Sebuah nama yang diangkat dari al-Qur’an surah al-Fath (48): 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubiina. Arti dari Jayakarta adalah Kemenangan Paripurna. Selanjutnya kota itu kini lebih dikenal dengan sebutan Jakarta.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara telah merekam jelas bahwa nama Jayakarta melambangkan rasa syukur kepada Allah, atas kemenangannya dalam menggagalkan usaha penjajahan Kerajaan Katolik Portugis di Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa.

Tidak sekedar membangun kekuatan politik, jauh sebelum perang memperebutkan Sunda Kelapa terjadi aktivitas dagang telah menjadi tradisi sebagian besar anggota Wali Songo. Bahasa Melayu adalah bahasa bersama, sehingga transaksi jual beli bisa dilangsungkan di seluruh kawasan Nusantara. Jadi wajar jika kemudian kita memiliki bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.

Hal ini menunjukkan bahwa Wali Songo adalah pelopor bangsa dalam melawan para penjajah. Sayangnya, Wali Songo kini sering dilupakan. Padahal dari perjuangan merekalah 400 tahun kemudian bangsa ini menjadi negara yang berdaulat dengan Jakarta sebagai ibu kota negara.

Jadi ibu kota negara kita, Jakarta, ternyata didirikan oleh seorang wali bersama sahabat seperjuangannya Fatahillah, yang nama itu sendiri diangkat dari al-Qur’an. Sungguh satu fakta yang sangat mengagumkan. Namun sekali lagi, amat sayang, pemuda hari ini banyak yang rabun jauh terhadap sejarah sendiri.


Islam dan Indonesia: Tak Terpisahkan

Uraian singkat di atas sedikit memberikan satu gambaran yang cukup jelas bahwa sejatinya Indonesia dan Umat Islam yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini seperti dua sisi mata uang. Indonesia dan Umat Islam adalah satu kesatuan. Ia sama sekali tidak bisa dipisahkan. Baik secara historis, yuridis maupun kultural.

Namun sayangnya, potensi keragaman umat Islam di tanah air kadang kala masih dilihat sebagai ancaman, khususnya oleh pemerintah. Bukan sebagai potensi yang bisa dikoordinasikan, sehingga mampu melahirkan satu gerakan massif yang berkesinambungan.

Fakta boleh direkayasa, namun sejarah tidak bisa kita pungkiri bahwa peranan umat Islam terhadap negeri khatulistiwa ini sungguh tidak bisa diabaikan atau dihilangkan begitu saja. Lihat saja peranan alumni pondok pesantren beberapa saat setelah kemerdekaan.

Moh. Rasydi, alumni Pondok Pesantren Jamsaren, misalnya, dia adalah Menteri Agama RI pertama. Ada pula Muhammad Natsir yang alumni Pondok Pesantren Persis yang menjadi Perdana Menteri Indonesia. Selain itu, ada sosok KH. A. Wahid Hasym alumnus Pondok Pesantren Tebuireng, KH Kahar Muzakkir dan tokoh lain, yang masuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan.

Tersebut juga KH Muslih Purwokerto dan KH Imam Zarkasy yang alumni Jamsaren dan pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Keduanya adalah tokoh yang menjadi anggota Dewan Perancang Nasional. Serta jangan lupakan bakti seorang KH Idham Chalid yang menjadi wakil Perdana Menteri dan Ketua MPRS.

Singkatnya, komponen utama dari umat Islam telah berpartisipasi dan berintegrasi dengan bangsa ini hampir di setiap lini perjuangan. Menariknya mereka menduduki jabatan-jabatan itu tidak untuk kepentingan sesaat, tapi lebih untuk membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa kita ini.


Keberanian yang Tak Padam 
Hampir seluruh penjajah, mulai dari Portugis, Inggris, Belanda dan terakhir Jepang sangat mewaspadai kekuatan umat Islam. Mereka sangat berhati-hati dalam menghadapi kekuatan umat Islam. Penjajah selalu khawatir sebab umat Islam memiliki mental juang yang tak mudah dipadamkan. Apalagi kalau sekedar mengandalkan senjata, pasti umat Islam bangkit dan balik menyerang.


Sejarah kemenangan Fatahillah atas tentara penjajah Portugis di Sunda Kelapa (kini Jakarta) benar-benar membuat Barat sangat trauma. Atas pengalaman historis tersebut dan kuatnya perlawanan Muslim di Aceh, penjajah Belanda pun memanggil Snouck Hurgronje, seorang warga Belanda berdarah Yahudi yang pernah lama hidup di Makkah. Snouck didatangkan ke Indonesia untuk mengatasi perlawanan umat Islam secara halus dan terselubung.

Secara terbuka, jika negara ini diinjak-injak, atau diganggu kedaulatannya, maka para ulama yang menjadi pemimpin umat akan tampil di garda terdepan perjuangan merebut kedaulatan. Satu kisah menarik layak kita renungkan.

Kekejaman, keberingasan dan kebrutalan tentara Jepang ternyata tak mampu berlanjut di hadapan ayahanda Buya Hamka yang berdampak pada perubahan kebijakan penjajah Jepang.

Pada pertengahan 1943, Shumubu (instansi urusan agama Islam) yang dibentuk diujung tahun 1942 mengundang beberapa ulama. Pertemuan dipimpin oleh kolonel Horie yang didampingi oleh KH. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), dan dihadiri oleh 59 ulama yang diundang dari seluruh Jawa.

Seperti biasa Jepang selalu memulai pertemuan dan memaksa yang lain untuk melakukan Seikeirei, tradisi membungkuk hingga sembilan puluh derajat (sama seperti rukuk) menghadap arah Tokyo sebagai bentuk penghormatan kepada raja Jepang.

Semua hadirin berdiri sebagai tanda kepatuhan, kecuali KH Abdul Karim Amrullah; beliau tetap duduk dan tidak melaukan Seikeirei itu. Semua orang istimewa dan para perwira Jepang yang menyaksikan hal itu tercengang dan terkejut dengan sikap KH Abdul Karim Amrullah itu. Melihat kejadian tersebut ternyata Jepang tidak berani bertindak apa-apa terhadap beliau.

Atas keberanian KH Abdul Karim Amrullah itu, Jepang langsung mencabut kewajiban Seikeirei atas seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya 3 Oktober 1943 KH. Abdul Karim Amrullah dan beberapa temannya menjadi pelopor terbentuknya Pembela Tanah Air (Peta) yang ternyata menjadi embrio terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ingin Berjaya, Berdayakan!
Akan tetapi fakta ironis terjadi, pemerintah seolah tidak lagi mempedulikan sejarah. Belakangan umat Islam digempur dengan berbagai isu yang irasional. Mungkin benar saja ada oknum orang Islam yang berbuat teror. Tetapi hakikat ajaran Islam sama sekali tidak berbau terorisme.

Atas dasar fakta yang telah diuraikan di atas, sudah seharusnya pemerintah memandang positif dan mengutamakan sikap kooperatif terhadap umat Islam. Berikanlah hak-hak umat Islam untuk beribadah dengan baik. Sungguh telah banyak yang diberikan umat ini terhadap negara.

Bayangkan saja, dari sisi zakat misalnya, jika dibandingkan dengan potensi pajak, zakat jauh lebih menjanjikan dari pada pajak. Orang membayar zakat jauh lebih mudah dari pada membayar pajak. Bayangkan jika semua umat Islam menyadari perlunya menjalankan ibadah secara sempurna, terkhusus kewajiban membayar zakat, tentu rakyat kita akan sejahtera.

Sadarilah wahai pemegang kebijakan bahwa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari umat Islam dan umat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia.

Oleh karena itu, di bulan suci ini yang 66 tahun lalu kita memproklamasikan kemerdekaan RI bersama, harus dijadikan momentum untuk membangun integrasi bangsa dengan kembali memberdayakan potensi umat Islam secara utuh demi terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur. Semoga.


*Penulis adalah kolomnis tetap www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Momentum Ramadhan dan Keindonesiaan Kita

Trending Now

Iklan