Iklan

Mentalitas Bangsa dan Harapan Perubahan

Admin
Sabtu, Desember 24, 2011 | 06:00 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z














SEJENAK mari kita menatap masa depan bangsa ini dengan mendata secara tertib dan rapi segala potensi positif yang dimiliki negeri ini. Kemudian mari kita ‘anyam’ untuk bisa menjadi satu landasan yang kokoh, kuat dan tahan banting dari beragam bentuk ancaman kerusakan. 

Hendaknya kita tidak terjebak untuk berpolemik pada pemberitaan media yang cenderung tidak berorientasi masa depan. Biarkan media mewartakan berita yang populis. Tugas kita adalah cerdas dalam membaca informasi atau berita. Kita harus senantiasa selektif memilah, memilih dan mengolah fakta dan berita. Agar sebagai generasi bangsa kita tidak termasuk orang yang terkontaminasi budaya kebanyakan, yaitu budaya debat, komentar, mengutuk lalu berhenti.

Kita, para generasi muda, harus berhenti sejenak, mengambil nafas panjang sembari duduk merenung, membaca, mengamati situasi dan keadaan secara lebih dalam dan sistematis untuk selanjutnya menyusun satu rumusan besar bagi bangsa yang sama-sama kita cintai ini.

Sebab yang dibutuhkan negeri ini bukan melulu pada besaran anggaran. Tapi lebih pada mentalitas. Fakta telah terpampang nyata, bagaimana negara miskin sumber daya alam bisa kaya raya. Sementara kita, negara yang sangat kaya sumber daya alam justru hidup dalam kepapaan. Ini terjadi pasti karena kesalahan berpikir, sehingga terjadi salah urus dan salah terus.

Kita butuh ide besar dalam membangun bangsa ini, kemauan kuat dan tekad yang bulat, serta kesungguhan dan kerjasama yang solid sebagaimana pendahulu kita gagah berani dan bersatu padu mengusir penjajah Belanda pada setengah abad lalu.

Change Your Self
Sejarah dunia telah bergulir ribuan tahun lamanya. Kini, berdasarkan hitungan masehi dunia telah berusia 2000 tahun lamanya. Padahal, sebelum kita mendulum panjang rentang masa masehi itu, dunia telah berusia ribuan tahun pula. Artinya, jika kita benar-benar mengamati secara serius, tentu untuk bisa keluar dari kemelut yang melanda bangsa ini tidaklah begitu rumit dan sulit.

Seperti kita saksikan hari ini, banyak orang yang ditokohkan oleh masing-masing kelompoknya berambisi ingin merubah situasi bangsa dan negara. Masing-masing punya argumen dan semangat sesuai ‘kendaraannya’ sendiiri-sendiri. Di bidang politik, mereka begitu berhasrat akan memberantas korupsi, di bidang ekonomi akan memberantas pengangguran dan kemiskinan. Namun ironisnya, slogan hanya tinggal semboyan. Ketika kekuasaan sudah di tangan, semua janji pun langsung terlupakan.

Situasi demikian juga lumrah terjadi di dunia kampus. Mulai dari kandidat presiden BEM sampai pada acara-acara training yang marak diselenggarakan oleh aktivis mahasiswa.

Pertanyaannya kemudian, benarkah mereka sadar dengan ucapan, keinginan atau bahkan cita-cita yang diucapkannya?

Dari sini kita melihat ada gap yang tidak kecil antara asa dan realita. Dalam konteks politik, tidak sedikit tokoh politik yang ketika ingin memberantas korupsi, track record-nya ternyata juga bermasalah. Demikian pula dengan mahasiswa yang dikenal dengan statusnya sebagai agen perubahan. Usai demo di jalan, mayoritas di antara mereka tidak kembali mengkaji ilmu. Notabene adalah jalan-jalan, berpacaran dan seterusnya.

Di sini kita sering lupa bahwa untuk merubah keadaan kita harus mampu merubah diri. Mustahil kita akan menjadi pemimpin jika kita gagal memimpin diri sendiri. Benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa “Many people want to change the world. But no body want to change him self”.

Syarat Kebangkitan
Kebangkitan itu bukan hadiah, ia tidak hadir sekonyong-konyong. Kebangkitan itu adalah hasil dari sebuah kesadaran kuat suatu bangsa untuk mengubah nasibnya. Dalam konteks seperti itu, tidak peduli agama apa, suku apa, keturunan siapa. Siapa orang atau bangsa yang memiliki kesadaran kuat yang diiringi usaha terus-menerus untuk menjadi lebih baik, pasti akan berhasil mencapai kebangkitan dan kejayaan.

Nah, yang terjadi di negeri ini adalah ketiadaan kesadaran kuat untuk merubah keadaan. Yang jamak terjadi justru keinginan kuat untuk menjadi orang yang banyak harta, pujian berlimpah dan tinggi tahta , tapi dengan cara cara instan dan tak beradab.

Hal ini bisa dilihat dari sistem pemilihan umum yang ada, termasuk kandidat pejabat yang dinominasikan. Masyarakat juga sudah memahami bahwa hari ini apapun itu, termasuk calon pemimpin seperti kata pepatah, selalu jauh panggang dari api. Artinya mereka sama sekali bukan orang yang tepat, tidak kredibel dan juga tidak akuntabel.

Jika kita melihat Jepang unggul dan kini Cina menyusul itu karena mental pejabat dan rakyat telah serasi seirama. Keduanya memiliki kesadaran tinggi untuk tampil lebih maju bahkan menjadi penguasa perdagangan. Kesadaran tersebut menjadikan pejabat di Cina membuat satu kebijakan bagaimana seluruh penduduk memiliki home industri, sekecil apapun industri tersebut.

Pada saat yang sama, pemerintah memberikan support berupa kemudahan administrasi, kemudahan akses informasi, modal dan pendampingan. Maka dalam tempo beberapa tahun, Cina menjadi satu negara yang memiliki mental wirausaha yang memadai. Jadi wajar kalau kini Cina dengan produk industrinya perlahan bisa menggoyang industri global.

Betapa indahnya jika seluruh komponen bangsa di negeri ini lebih memilih duduk bersama membahas bagaimana seluruh rakyat negeri ini diberdayakan secara massal dan kolosal. Bukankah negeri ini punya anggaran 1.700 trilyun rupiah?

Anggaran sebesar itu jika memang pengelolaannya disandarkan pada kesadaran tinggi untuk membangun bangsa, hemat siapa pun pasti akan mengatakan, There’s possible, Depend your choice!.[]

*Imam Nawawi adalah kolumnis tetap rubrik CAP Anak Kaltim www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mentalitas Bangsa dan Harapan Perubahan

Trending Now

Iklan