Iklan

Mereka Inilah Penyangga Negara yang Dilupakan

Admin
Sabtu, Januari 14, 2012 | 06:00 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z














NAMPAKNYA hadirin cukup kaget ketika Prof. DR. Joko Santoso, Dirjen DIKTI Kemendikbud itu, dalam kuliah umum yang berlangsung di Kampus STEKPI Kalibata Jakarta (11/1/2012) lalu, yang mengatakan dengan tegas bahwa banyak kalangan yang telah keliru dalam memahami arti pengusaha. Umumnya orang mengatakan bahwa pengusaha itu adalah mereka yang punya perusahaan besar.

Padahal, kata profesor Joko lebih lanjut, pedagang kaki lima, pedagang kecil di pinggiran jalan itu sejatinya juga adalah pengusaha. Jika dikelola dengan baik kemudian dikoordinir secara terpadu, jumlah mereka yang lima puluh juta orang itu akan mengalahkan omzet perusahaan besar.

Saya yang hadir dalam acara itu menilai paparan mantan rektor ITB tentang pengusaha inilah yang layak untuk digarisbawahi. Sebab sebenarnya kekuatan dasar yang menyokong berdirinya republik ini adalah rakyat kecil. Sementara negara hadir dan menjelma dengan segala aturan dan perundang-undangannya di dunia ini adalah dalam rangka mengelola rakyat yang banyak itu agar dapat hidup sejahtera, cerdas, dan mandiri.

Secara normatif, kesadaran akan hal tersebut telah lama disadari oleh para pendiri negeri ini. Itulah mengapa dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa NKRI ini hadir adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sebaliknya seperti yang kita saksikan atau mungkin kita alami hari ini.

Artinya, negara berkewajiban menjadikan seluruh rakyat menjadi cerdas yang dalam hal ini tentu beragam tingkat dan kadarnya. Bagi mereka yang punya kecerdasan intelektual maka negara wajib memberikan jaminan pendidikan sampai ke tingkat tertinggi. Bagi mereka yang punya skill kewirausahaan, negara juga wajib memberikan jaminan usaha yang aman dan nyaman.

Di sisi lain, ini nampaknya cukup mendesak untuk segera dilaksanakan, pemerintah harus membuat satu opini bersama bagaimana seluruh rakyat dan tentunya dimulai dari para pejabat untuk mencintai produk dalam negeri atau produk putra bangsa.

Tentu bukan hanya produk besar dan mahal, tetapi juga termasuk produk mikro di sekitar kita. Seperti disampaikan Joko Santoso di atas, ternyata usaha kecil jauh lebih bisa bertahan dibanding usaha besar. Sebagai bukti mari kita lihat sebagian kutipan laporan yang diturunkan laman Kaltim Post belum lama ini, tentang bagaimana resistensi pengusaha kecil di Kalimantan Timur ini:

“Meskipun jumlahnya makin berkurang karena tergerus zaman, pengrajin rotan yang mulai eksis pada 1989 lalu, masih ada yang bertahan. Seperti bapak bernama Johanes ini. Berbekal pengalaman, karya buah tangan pria yang menetap di Jl Mulawarman, Balikpapan Timur, ini tak kalah rapi dengan olahan pabrik. Diketahui, hingga 2011, keberadaan pengrajin kursi rotan tinggal 4 dari 15 pengrajin yang pernah ada sebelumnya”.

Namun demikian kita tak bisa pungkiri, sekuat apapun ketahanan pengusaha kecil mengahadapi perdagangan bebas, jika tidak diurus dengan baik akan punah juga. Terbukti dari 15 pengrajin kini tinggal 4 pengrajin saja. Jika kelompok kreatif itu dibiarkan hidup secara ‘alamiah’ tentu tidak lama lagi empat pengrajin itu juga harus banting setir dan punahlah usaha mikro kita.

APBN Untuk Siapa?
Seperti jamak dipahami, negeri kita kini sedang berada dalam fase problematis. Boleh dibilang tak satupun sektor kehidupan di negeri ini yang tidak kena masalah. Dan, masalah terbesar yang menyita banyak perhatian publik dan dampak sangat luas lagi merata adalah masalah ekonomi.

Bicara ekonomi maka tidak bisa lepas dari bahasan korupsi. Jabatan di berbagai lembaga tinggi negara, umumnya dipandang sebagai tempat yang strategis untuk mengumpulkan harta. Hingga akhirnya muncullah beragam gejolak dan tuntutan. Rakyat akhirnya mengerti bahwa dana negara ternyata tidak disalurkan sepenuhnya untuk kepentingan bangsa dan negara, apalagi rakyat. Padahal semestinya adalah ‘APBN untuk RAKYAT’.

Munculnya tuntutan APBN untuk RAKYAT itu menunjukkan bahwa uang negara yang dikumpulkan dari keringat bahkan darah rakyat negeri ini belum sepenuhnya dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Indikasinya cukup jelas, angka kemiskinan, kebodohan dan pengangguran kian hari kian melejit naik.

Bahkan dalam hal yang katanya ekonomi negara mengalami kemajuan dengan mendengung-dengungkan rating investment grade dari Fitch yang konon menjadi pemicu banyaknya penawaran pinjaman dan investasi dari laur negeri, rakyat kecil tetap saja rakyat yang hidup susah. Mereka sama sekali tak tersentuh oleh beragam program pembangunan yang katanya untuk kesejahteraan.

Potensi Depan Mata
Dalam hal ini saya tertarik untuk mengemukakan soal potensi besar usaha kecil Indonesia yang jumlahnya berkisar 50 juta jiwa. Usaha kecil ini adalah usaha riil yang keuntungannya bisa mencapai angka 100 %. Tentu dalam jumlah yang kecil, tetapi jika dikelola, dikoordinir dengan baik, maka akumulasi keuntungan pedagang kecil yang 50 juta jiwa itu akan menjadi sangat besar. Pepatah mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.

Kemudian, dana bergulir yang dipinjamkan kepada mereka (50 juta pedagang kecil) itu akan memicu dan memacu perputaran ekonomi secara lebih cepat dan massal. Artinya, jika ini benar-benar diterapkan maka pengucuran dana pinjaman bagi pedagang kecil akan menciptakan satu arus baru yang mendorong sebagian besar masyarakat memiliki mental wirausaha.

Bagaimana tidak, jika mereka yang berdagang mengalami kenaikan kesejahteraan tiap tahunnya. Tentu hal itu akan menjadi satu bukti tak terbantahkan bahwa berdagang atau sektor bisnis adalah sektor yang benar-benar prospek untuk meningkatkan kesejahteraan.

Apabila hal tersebut bisa dilakukan secara kolosal di negeri ini, maka lambat laun mental penduduk negeri ini akan semakin baik. Bahkan boleh jadi jika hal itu berjalan baik dan lancar, Indonesia akan menjadi negara yang mandiri secara finansial, kokoh perekonomiannya, dan aman sejahtera seluruh rakyatnya.

Akan tetapi ini masih menjadi satu tantangan yang tidak ringan. Mengingat mayoritas politisi negeri ini masih menjadikan politik sebagai mata pencaharian bukan arena untuk berkorban dalam arena perjuangan mensejahterakan rakyat, bangsa dan negara.

Melihat hal tersebut saya ingat pesan Bapak Aksa Mahmud, mantan wakil ketua MPR periode 2004-2009 yang kini aktif sebagai Dewan Pembina Masjid Sunda Kelapa Jakarta, yang dalam catatan saya beberapa tahun silam beliau mengatakan:

“Kita tidak boleh menjadikan politik sebagai mata pencaharian karena politik itu adalah arena perjuangan dan pengorbanan. Oleh karena itu, janganlah kalian (wahai anak muda) ‘pagi-pagi’ sudah terjun ke politik,”.

Janganlah kita mengulangi kesalahan raja Luis XVI di Perancis yang menjadikan rakyat sebagai budak di negeri sendiri. Pajak diambil sementara rakyat tak dilindungi. Jika ini terjadi, maka boleh jadi apa yang disebut revolusi untuk pertamakalinya dalam sejarah dunia ketika itu akan muncul juga di negeri ini.

Berikanlah hak rakyat kepada rakyat. Jika rakyat yang sakit jangan konglomerat yang disuntik. Jika rakyat yang lapar jangan malah konglomerat yang disantuni. Sebab rakyat itulah pemegang hak terbesar di negeri ini bukan konglomerat. Muliakanlah mereka dan kenyangkanlah mereka. Niscaya akan sejahteralah bumi persada ini, semoga!.[]

*Imam Nawawi adalah kolumnis tetap rubrik CAP Anak Kaltim www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Mereka Inilah Penyangga Negara yang Dilupakan

Trending Now

Iklan