Iklan

[Telah] Hilangnya Rasa Malu

Admin
Minggu, April 01, 2012 | 09:45 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:06Z














TERNYATA catatan pekan lalu persis terjadi di pekan ini. Wakil rakyat ragu untuk mengambil keputusan.

Mereka ragu apakah akan berpihak kepada rakyat yang telah mengangkatnya sebagai anggota dewan dengan menolak rencana kenaikan harga BBM. Ataukah akan menerima rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM yang berarti mengabaikan aspirasi rakyat.

Begitulah sikap wakil rakyat pada umumnya. Ketika mereka telah berkuasa, masyarakat dianggapnya tak punya arti apa-apa. Sekeras apapun rakyat berteriak dan sebanyak apapun massa berkumpul pasti akan dianggap angin lalu saja. Inilah logika kekuasaan, dimana pemerintah dan wakil rakyatnya sama-sama telah kehilangan perasaan.

Pertanyaanya kemudian, mengapa begitu teganya pemerintah dan anggota dewan itu mengabaikan aspirasi rakyat? Jawabannya sederhana, demokrasi yang ada tak lebih dari sekedar jubah. Prinsipnya sama, otoritarian. Apalagi yang berbicara saat ini adalah logika ekonomi. Maka logika moral, hati, dan jiwa harus dikesampingkan. Itulah jawaban yang terasa lebih tepat mengapa elit politik banyak yang sengaja melupakan janjinya ketika dulu ‘merengek-rengek’ agar rakyat memilihnya dalam PEMILU.

Selain itu rendahnya leadhersip di kalangan elit politik menjadikan keputusan pemerintah benar-benar anti rakyat. Leadership yang saya maksud adalah semangat berjuang dan berkorban untuk rakyat. Bukan semangat mengorbankan rakyat. Rendahnya leadership itu dapat dilihat dari argumentasi pemerintah dalam upayanya menaikkan harga BBM tanpa peduli dengan nasib rakyat.

Pertama, alasan pemerintah itu, adalah agar bisa menyelamatkan atau menyehatkan APBN. Kedua, agar subsidi BBM bisa tepat sasaran. Ketiga, agar masyarakat miskin bisa diberi dana bantuan berupa BLT -yang kesannya sudah seperti barang haram- yang akhirnya berubah wujud menjadi BLSM. Jadi dengan kenaikan BBM negara akan mendapat banyak keuntungan yang salah satu keuntungannya bisa digunakan untuk membantu masyarakat miskin dengan dikucurkannya dana BLT.

Tetapi mari kita berpikir secara lebih sehat. Kenaikan harga BBM telah terjadi setidaknya tiga kali dalam masa kepemimpinan SBY sebagai presiden. Pertama di tahun 2005 dan disusul yang kedua di tahun 2008 dan terbaru sekarang tahun 2012, yang kemungkinan dinaikkan masih sangat besar meski mayoritas anggota DPR menolak karena didesak rakyat.

Lalu, adakah kenaikan harga BBM itu memberikan dampak kepada masyarakat luas? Berkurangkah angka kemiskinan?. Anda pasti mengerti apa jawabannya. Jika realitanya seperti itu mengapa pemerintah masih keukeuh ingin menaikkan harga BBM hingga akhirnya anggota DPR seperti tak berpengalaman dalam bersidang?

Menarik apa yang disampaikan oleh Taufik Ismail dalam sebuah puisi ketika malam deklarasi Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) sebulan silam di Jakarta, bahwa bangsa kita telah kehilangan rasa malu. Hilangnya rasa malu ini menjadikan DPR kembali memperagakan tingkah laku yang naif. Dalam rapat paripurna yang disaksikan seluruh rakyat Indonesia, ternyata mereka yang menyandang gelar terhormat tidak mampu menunjukkan gelarnya sendiri.

Rapat tak ubahnya pasar ikan, riuh, emosional, dan tak terkendali. Masing-masing ingin didengar, masing-masing merasa benar, dan karena itu masing-masing saling serang, saling tuding dan saling tidak bisa menghargai dan menghormati yang lain. Padahal di luar puluhan ribu demonstran bersusah payah bertahan di kompleks DPR/MPR sekedar untuk menanti sikap anggota legislatif untuk berpihak pada aspirasi mereka.

Ironisnya, paska paripurna seorang politisi nasional mengklaim bahwa partainya berhasil melakukan ini dan itu. Di partai lain hal serupa juga sama terjadi. Masing-masing partai dalam subyektifnya sendiri sibuk mengklaim telah berhasil melakukan kebaikan-kebaikan. Padahal rakyat tidak tuli, buta, apalagi mati. Rakyat masih hidup, melihat dan mendengar, siapa di antara partai-partai yang ada, dan politisi-politisi yang ada yang benar-benar berjuang dan membela hak-hak rakyat.

Jadi sangat beralasan jika kemudian Taufiq Ismail menyampaikan kegelisahan dan kerisauannya terhadap kondisi bangsa dan negara ini dengan menuliskan sebuah puisi yang berjudul “Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu. Berikut lengkapnya;

Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu

Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A
dia mengajukan permohonan
“Tolong, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya
Kemudian, jawab kepala sekolah
“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, kenapa, pak?”
“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”
“Ooooh…”

Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B
dia menyebutkan permintaan yang serupa
“Bu, bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Kemudian, jawab ibu kepala sekolah
“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkn rasa malu,”
“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”
“Begini, begini… Ketika UAN,
ada guru ditugaskan diam-diam,
kepada murid memberi jawaban ujian,”
“ooooo…”

Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih
dia membawa anaknya ke sekolah C
dia mengulang lagi permintaan itu juga
“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Jawab kepala sekolah,
“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?
Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”
“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,
dan itu harus dicapai dengan segala cara,”
“Bagaimana itu caranya pak?”
“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”
“ooooooooo…”
9 “O”-nya itu



Hilangnya rasa malu itu tak lain dan tak bukan karena mayoritas pemangku amanah bangsa telah mengadopsi frame berpikir liberal. Artinya berpikir, bertindak, dan tentu memutuskan apapun tidak lagi mempertimbangkan aspek norma, etika, apalagi agama, bahkan termasuk Tuhan.

Liberal hanya mengenal satu kaidah berpikir yaitu, bebas dari segala aturan, sekalipun aturan dari Tuhan. Oleh karena itu, sebagian politisi kita di negeri ini rasanya telah secara sengaja melupakan Tuhan dan karena itu suka mengorbankan rakyat.

Jika situasi seperti ini berlanjut, apalagi DPR tidak tegas dalam mengambil sikap, sebab ada kemungkinan BBM naik dalam enam bulan ke depan. Nampaknya nasehat John Locke dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690) bahwa ketika pemerintah tidak mau atau sengaja tidak mau menjalankan tugas utamanya untuk menjamin hak-hak dasar rakyatnya, apalagi tidak bersungguh-sungguh menjaga hak-hak dasar itu, maka jangan salahkan rakyat kalau bergerak bersama secara serentak untuk melakukan revolusi. Jangan salahkan mereka, sebab revolusi itu adalah hak mereka.

Sungguh, saya, dan kita semua sebagai anak bangsa, tentu tidak menginginkan gerakan berdarah yang disebabkan oleh sifat keras hati penguasa, dan hilangnya kepekaan wakil rakyat dalam melihat nasib mereka. Intropeksi diri dan kembali mendekatkan diri kepada Tuhan adalah jalan terbaik agar rasa malu dalam diri tetap menuntun hati.

Dan, tidak ada jalan terbaik untuk mengembalikan rasa malu itu selain kembali mengencangkan ikatan iman dan tradisi ibadah sesuai dengan perintah Tuhan kepada kita semua.[KTC]


*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • [Telah] Hilangnya Rasa Malu

Trending Now

Iklan