Demikianlah sepenggal bait dari lagu populer yang dibawakan oleh penyanyi legendaris Iwan Fals. Lagu tersebut cukup ramai dinyanyikan oleh para pengamen jalanan, termasuk juga aktivis mahasiswa yang merasa gerah dengan perilaku anggota dewan yang katanya wakil rakyat tapi tak pernah benar-benar mengenal nasib rakyatnya.
Apa yang dinyanyikan oleh Iwan Fals itu memang sebuah fakta. Di era Suharto, DPR rasanya jelas benar-benar tidak berfungsi seperti apa yang dikatakan oleh seorang filosof Jerman George Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831) sebagai pengawas eksekutif. Dengan kekuasaannya Suharto berhasil menjadikan DPR seperti kelompok paduan suara. Apa kata presiden, setujulah semua anggota dewan itu.
Menurut Hegel negara adalah realisasi rasio dalam masyarakat. Tentu yang dimaksud adalah rasio rakyat bukan rasio politik apalagi rasio pejabat, yang kini sangat identik dengan keserakahan dan kebiadaban. Sebab ini adalah era demokrasi bukan era absolutisme.
Atas fenomena tersebut rasanya juga tidak berlebihan jika elit negara baik di tataran pusat maupun daerah sebagian besar kita analogikan seperti ular. Lembut tapi licin, menarik namun mencekik, seolah biasa tapi sangat berbisa. Mereka pun nampak seperti orang yang sangat santun tapi berkarakter seperti para penyamun. Orang mengatakan tikus berdasi.
Lihat saja data korupsi yang dilakukan sejumlah anggota legislatif itu. kemudian bandingkan dengan aktualisasi janji saat mereka membujuk rakyat agar memilihnya ketika pemilu. Sungguh sangat jauh dari harapan. Bahkan dengan sistem seperti apa yang selama ini berlangsung terlalu dungu rasanya jika kita berharap akan terjadi perubahan.
Jadi apa yang kemudian dikonseptualisasikan oleh JJ. Rousseau (1702 – 1778) bahwa negara mestinya mampu menerapkan apa yang menjadi kehendak umum tidaklah mewujud secara ideal di negeri ini.
Itulah mengapa jauh-jauh hari Rousseau lebih cenderung pada demokrasi primer (demokrasi langsung). Sebuah konsep demokrasi yang tanpa perwakilan, tanpa perantaraan partai-partai politik. Rousseau ingin rakyat benar-benar diberi ruang untuk mengendalikan negara, sebagaimana idealisme demokrasi itu sendiri.
Teori Politik Machiavelli
Mengapa lagu Iwan Fals itu muncul, tentu karena adanya realita. Mengapa realita itu mewujud tentu karena ada teori yang diyakini dan diikuti.
Di antara para pemikir Barat, Niccolo Machiavelli (1469 – 1527) adalah yang cukup kontroversial setidaknya bagi mereka yang masih menggunakan nurani dalam kehidupan ini. Bagi Machiavelli kekuasaan adalah lebih utama di atas apapun termasuk moral.
Machiavelli bahkan bergerak lebih ekstrem dengan memisahkan secara total antara politik dan moral. Dalam urusan politik sama sekali tak ada ruang bagi moral. Hanya ada satu kajian pokok dan penting dalam politik ialah bagaimana mendapat kekuasaan dan dengan berbagai cara mempertahankannya.
Lebih jauh Machiavelli dengan berani dan bangga mengatakan bahwa jika memang diperlukan, tindak penipuan untuk mencapai kekuasaan pun dibenarkan olehnya. Kalau perlu apa yang menjadi dasar kesadaran rakyat sekalipun tidak relevan dengan kajian politik namun berpotensi positif untuk meraih kekuasaan maka harus tetap ada dan dijaga.
Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh. Dampak positif kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama itu untuk dijaga. Jadi agama itu diperlukan atau tidak, bila memiliki nilai manfaat kekuasaan. Dalam hal ini tentu manfaat yang diharapkan adalah rakyat patuh, bukan karena nilai-nilai yang dikandung oleh agama itu sendiri.
Jika Thomas Aquinas dalam bukunya The Government of Princes berpendapat penguasa dikatakan baik manakala dirinya berusaha menghindar dari godaan kekayaan-kekayaan duniawi agar mendapat ganjaran surgawi. Machiavelli sebaliknya, ia mengatakan bahwa penguasa yang baik adalah penguasa yang berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki oleh seorang penguasa.
Secara nurani teori Machiavelli sungguh sangat menyesatkan. Tetapi teori itu sendiri ternyata juga memberikan satu penjelasan yang terang-benderang mengapa tidak sedikit penguasa dari berbagai zaman yang cenderung asyik hidup mewah dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Sehingga benarlah kata Iwan Fals bahwa wakil rakyat sejatinya bukanlah wakil rakyat tetapi budak pejabat. Apa kata pejabat itulah kata wakil rakyat.
Kemana Wakil Rakyat?
Sekalipun BBM belum benar-benar naik, di Samarinda, Tenggarong, dan Balikpapan, antrean panjang untuk mendapatkan BBM terjadi hampir setiap hari di beberapa SPBU. Sampai-sampai mereka yang biasanya usai sholat shubuh menyempatkan diri untuk membaca al-Qur’an dan dzikir kini sudah tidak lagi mengamalkannya. Sebab jika berangkat ke SPBU pada saat pagi mulai terang, dijamin tidak akan kebagian. Belum lagi sederetan kenaikan harga sembako dan transportasi yang siap mencekik warga miskin Indonesia.
Isu kenaikan BBM tentu adalah momentum tepat untuk kita mengingatkan kembali peran dan fungsi sejati seorang wakil rakyat. Dengan dukungan fakta teori dan realita di atas, saat ini adalah satu waktu yang sangat tepat jika kita menuntut wakil rakyat untuk berbuat bukan hanya banyak berdebat.
Adalah hak kita semua untuk bertanya kepada setiap anggota dewan, DPD, termasuk jajaran eksekutif baik di pemerintahan pusat maupun daerah. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan, mereka perbuat untuk rakyat?
Namun seperti apapun kita berteriak, nampaknya aspirasi itu tetap tak akan bisa terdengar oleh besarnya keserakahan yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian. Faktanya sekalipun demonstrasi berlangsung di mana-mana yang beberapa di antaranya terjadi dengan kericuhan, pemerintah tetap keukeuh menaikkan harga BBM.
Ironisnya, mereka yang di legislatif tampaknya tak betul-betul serius melakukan pembelaan atas gejolak yang terjadi di akar rumput. Malah asyik adu argumen di muka umum. Jika demikian adanya tentu tidak ada harapan besar atas bangsa ini. Lagu Iwan Fals ternyata tidak saja berlaku di orde baru tetapi juga mengakar kuat di era reformasi. Lalu untuk apa kita punya wakil rakyat?
Nampaknya ada benarnya apa yang dikonsepkan oleh JJ. Rousseau (1702–1778) yang menghendaki demokrasi langsung. Sebuah demokrasi di mana rakyat menentukan arah tanpa perwakilan dan tanpa partai politik. Kita harus berani melihat secara obyektif, bahwa sejak merdeka keberadaan demokrasi di negeri ini belum memberikan kontribusi apapun selain terus-menerus membuat masalah bagi rakyat.
Kemudian secara historis, demokrasi bukanlah identitas asli bangsa Indonesia. Identitas bangsa Indonesia adalah kesantunan, kepeloporan, keberanian, kerja keras demi untuk bangsa dan negara.
Tetapi jika demokrasi tetap dipaksakan untuk menjadi sistem negara kita, sampai kapanpun kalau harga minyak naik, kita juga harus siap-siap menjerit. Apalagi dengan mental mayoritas politisi hari ini yang rasanya tak lagi menyadari fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.[KTC]
*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan mantan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kutai Kartanegara, Kaltim