Iklan

Telaah Spirit Kebangkitan Nasional

Admin
Sabtu, Mei 19, 2012 | 06:00 WIB Last Updated 2017-02-27T22:45:05Z














SEJENAK mari kita arahkan mata hati untuk melihat secara jernih kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Pepatah menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak buta apalagi melupakan sejarahnya sendiri.

Berdasarkan fakta yang mencuat di media belakangan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia secara umum mulai tercerabut dari akar sejarahnya sendiri. Ironi memang, tapi ini harus diakui.

Masihkah kita mengerti bahwa esok, 20 Mei 2012, adalah Hari Kebangkitan Nasional? Sekalipun penetapan 20 Mei sebagai hari kebangkitan masih problematis dalam tinjauan ilmu sejarah, setidaknya bangsa ini melakukan refleksi terhadap arti kemerdekaan, dan yang terpenting adalah makna hakiki dari kebangkitan nasional.

Saya tidak melihat antusiasme pemerintah menyadarkan warga masyarakat akan hari kebangkitan itu. Begitu pula masyarakat, sepertinya tidak begitu antusias dengan 20 Mei besok. Sebaliknya, pada detik-detik peringatan Hari Kebangkitan Nasional, negeri ini disuguhi ‘dialog’ tidak sehat dan tidak perlu tentang rencana manggungnya artis kontroversial asal Amerika, Lady Gaga.

Mereka yang mengidolakan Lady Gaga merasa kecewa dengan rencana tegas Polda Metro Jaya yang tidak memberi rekomendasi akan konser artis yang tidak jelas itu. Saya katakan tidak jelas sebab Lady Gaga bukan seorang pahlawan, bukan orang Indonesia, dan pada saat yang sama juga tidak membawa satu solusi bagi bangsa kita.

Lady Gaga hanya menghibur, dan dunia hiburan dalam bahasa manusia modern kebanyakan adalah kebebasan berekspresi. Tidak ada pornografi atau porno aksi, yang ada adalah seni. Kalau ada orang yang mengatakan aksi artis itu bernuansa erotis atau mengundang birahi, maka itu adalah persepsi yang muncul dari yang melihat, bukan dari sang Lady sendiri. Itulah dalih.

Hebohnya, tiket konser yang sejatinya akan dilaksanakan pada 3 Juni 2012 itu telah ludes terjual. Beberapa pihak pun menjadikan hal itu sebagai alasan agar konser Lady Gaga tetap dapat berjalan. Tidak cukup itu, guna membuat opini publik, beberapa pihak ‘menuduh’ polisi yang menolak memberikan rekomendasi atas pelaksanaan konser itu sedang berada dalam tekanan kelompok-kelompok tertentu.

Saya tidak habis pikir, mengapa negeri yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa ini penduduknya masih suka berbicara, berdebat, berebut, hal-hal yang sama sekali tidak menguatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan dalam beberapa tema, sudah bisa dipastikan negeri ini mudah sekali terprovokasi dan mudah sekali diadu domba.

Lihat dengan hati, bagaimana mungkin wanita Indonesia membela Lady Gaga yang tidak jelas eksistensinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya bukan saja mereka yang awam baik dari sisi pemikiran, sejarah, atau filsafat, dari kalangan artis yang membelanya. Tetapi ada beberapa oknum intelektual dan media nasional yang membela Lady tersebut.

Sungguh sangat ironi, untuk sang Lady mereka siap memuja dan membela, sementara untuk saudara sebangsa dan setanah air mereka enggan bersama, bahkan lebih suka mencerca dan mohon maaf, menghina.

Sementara itu aksi brutal warga mulai terjadi di mana-mana, yang paling hangat adalah bentrokan warga di Maluku. Ironisnya bentrokan itu terjadi pada saat pelaksanaan peringatan hari kelahiran pahlawan dari Pulau Manise, Pahlawan Patimura. Kirab obor yang semestinya berjalan penuh khidmat seketika berjalan di luar dugaan. Hari pahlawan yang diperingati justru mengundang aksi anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan.

Kebangkitan atau Kebangkrutan Nasional?
Luar biasa, ternyata di tahun 2012 ini setidaknya akan ada 48 kali konser artis luar negeri yang akan digelar. Khusus untuk konser Lady Gaga diperkirakan akan menjadi sebuah stadium concert terbesar di Asia Tenggara.

Pertanyaannya, apakah dari 48 konser yang akan digelar itu berpengaruh signifikan terhadap kesehatan jiwa dan raga rakyat Indonesia?

Jawabannya rasanya jelas, tidak berpengaruh sedikitpun. Tetapi anehnya, sebagian penduduk negeri jamrud khatulistiwa ini sangat senang dengan konser-konser artis luar negeri yang berpandangan liberal terhadap seni. Walaupun tidak jarang harus menguras dana yang tidak sedikit. Sementara itu di pihak lain, negara kehilangan semangat generasi mudanya untuk membangun bangsa dan negara.

Bagaimana mungkin akan muncul Kartini baru, jika yang diidolakan adalah Lady Gaga. Mustahil akan lahir Cut Nyak Din baru kalau yang digandrungi adalah artis Barat yang tidak sedikit menganut paham bebas nilai. Hal-hal semacam ini hendaknya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, khususnya pemerintah.

Ingat bahwa hilangnya figur pahlawan dari memori generasi muda sekarang adalah musibah besar bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Jadi sudah seharusnya pemerintah bekerja keras untuk menyelamatkan aset negara ini, para generasi muda, dari ‘kekonyolan-kekonyolan’ yang selama ini sering terjadi.

Generasi muda adalah aset yang mahal harganya. Negara hendaknya mampu melindunginya dari hal-hal yang akan melemahkan mental bangsa kita sendiri. Pada saat yang sama semua warga negara Indonesia harus berpikir secara jernih, rasional, dan atas pertimbangan hati nurani.

Tanyakan pada hati masing-masing, siapa yang sebenarnya harus kita teladani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa atau para artis -khususnya dari Barat- yang notabene hanya mencari uang belaka?.

Menarik dan sangat tepat logika yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam membela bangsa dan negara melalui medan pendidikan dan budaya. Dia mengatakan, “Jika rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas sehingga keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi,” (Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889 – 1959 hlm. 103).

Presiden Soekarno juga menyatakan bahwa pendidikan adalah prioritas utama yang harus dilaksanakan. Tidak ada jalan lain untuk memperbaiki keterpurukan bangsa kita hari ini kecuali dengan menerapkan pendidikan yang mengantarkan generasi muda mengenal sejarah bangsanya dan mengerti arti Indonesia, sehingga siap membawa bangsa dan negara pada kebangkitan yang sesungguhnya.

Cerdaskan Kehidupan Bangsa
Jadi kesimpulannya sangat sederhana. Jika rakyat terdidik maka rakyat akan cerdas dan itu berarti bangsa dan negara akan semakin maju. Sebaliknya, jika rakyat uncivilized maka negeri ini akan menjadi mangsa pasar industri Barat yang buta akhlak, buta moral, dan anti agama.

Ketika situasi kedua terjadi maka tidak ada artinya bangsa dan negara ini. Lebih dari itu penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Kabinet Hatta pada 1948 silam selain problematis ternyata fakta menunjukkan bahwa Hari Kebangkitan Nasional telah lama menemui ‘ajalnya’.

Membiarkan itu terjadi maka negeri ini akan bangkrut. Tetapi sekecil apapun upaya kita untuk memperbaikinya, Insya Allah suatu saat kebangkitan yang sesungguhnya akan benar-benar terwujud.

Jelas kita tidak anti Barat dan kita harus pula menghargainya, tetapi kita pun harus selektif dalam mengambil idola atau tauladan. Sebab bukan orang asing yang akan memajukan bangsa dan negara kita. Pada saat yang sama kita tidak kekurangan tauladan heroik dari bangsa sendiri.

Marilah berpikir dengan jernih, berkarya dengan penuh kesabaran dan kesungguhan, hingga tiba saatnya kita berkata, “Selamat datang Kebangkitan Bangsa dan selamat tinggal Kepandiran Negara”. Jika tidak pada masa kita, niscaya pada masa anak atau cucu kita. Yakinlah!.[KTC]


*Imam Nawawi adalah kolumnis www.kaltimtoday.com dan perintis Kelompok Studi Islam (KSI) Loa Kulu, serta mantan perintis dan ketua Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PII), Kutai Kartanegara, Kaltim.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Telaah Spirit Kebangkitan Nasional

Trending Now

Iklan