ADA pengalaman yang cukup berkesan dalam perjalanan ke Yogyakarta akhir pekan lalu. Saya ke Kota Gudeg itu untuk sebuah agenda penutupan kegiatan musyawarah mahasiswa di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
Takdir Allah, dalam lawatan itu, saya bertemu dengan Farsijana Adeney-Risakotta. Beliau dosen Pascasarjana yang mengampu Mata Kuliah Antrophologi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Di antara sekian banyak tema yang kami diskusikan, lulusan Universitas Amsterdam Belanda itu menyinggung soal kemerdekaan anak-anak Indonesia yang menurutnya sudah sangat terjajah dan tersiksa oleh kedatangan pencuri terselubung.
"Oh ya, siapa gerangan pencuri terselubung itu, bu," tanya saya penuh harap. "Siapa lagi kalau bukan kapitalisme yang membombardir seluruh ruang dan waktu dengan berbagai macam bentuk tawaran iklan yang dalam banyak hal sangat mengganggu konsentrasi belajar anak," jawabnya dengan sangat antusias.
Makanya, aku Adeney, ia selalu mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi. Begitu ada iklan dia selalu bilang ke anak-anak, "Itu bohong, itu bodoh, itu bodoh, dan itu bodoh".
Jika tidak demikian, lanjut ibu keturunan Papua itu, maka memori anak akan merekam iklan sebagai sesuatu yang benar, meskipun sebenarnya iklan tersebut tidak benar-benar dibutuhkan.
"Bagaimana anak-anak kita akan mengenal nilai etika dan norma, sementara setiap hari tontonannya banyak iklan. Berangkat ke sekolah, di mana-mana banyak papan iklan. Di rumah nonton TV iklan lagi. Buka internet, iklan juga. Jadi, mau gak mau, benak anak-anak kita terwarnai ilusi iklan, sehingga imajinasi anak-anak tidak jauh dari iklan-iklan yang dilihat," jelasnya.
Di akhir perbincangan kami, ibu Adeney menyesalkan pemerintah yang menurutnya telah membiarkan situasi seperti ini terjadi bahkan cenderung semakin bebas. Anak-anak kita punya hak untuk dilindungi kemerdekaan hati dan intelektualnya. Anak-anak punya hak untuk selamat dari gempuran iklan, begitu dia menegaskan.
Budaya Iklan
Mungkin sering kita melihat banyak anak-anak bahkan mungkin tidak sedikit juga orangtua yang dalam bahasa kesehariannya terpengaruh bahasa iklan.
Sebagai contoh kecil, "Emang gue harus bilang wow, githu," ungkapan ini amat sering digunakan pelajar dalam keseharian mereka. Atau dalam sebuah slogan iklan rokok yang menurut saya sangat kasar berbunyi; Go A Head. Arti vulgar dari slogan itu: Lakukan saja!. Artinya, merokok saja.
Bahkan di jejaring sosial pun, bahasa iklan dalam contoh pertama itu juga hadir. Misalnya, ada sebuah status yang menarik hatinya, maka akan diberi komentar sedikit lebay sembari menulis dalam kurung (sambil koprol).
Hal semacam itu tidak bisa dihindari. Karena sekalipun durasi iklan tidak sampai 1 atau 2 menit, pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sepanjang hari, di televisi, di koran, di internet bahkan di pinggir jalan, menjadikan otak bawah sadar masyarakat kita menerima iklan itu sebagai sesuatu yang rasional. Pada akhirnya, budaya konsumerisme pun menjadi satu keniscayaan.
Mario Teguh dalam salah satu sesi motivasinya mengatakan bahwa di Paris yang tidak selebar Jakarta hanya memiliki beberapa pusat perbelanjaan saja. Di Jakarta, tidak kurang dari 100 mall telah tegak berdiri. Belum termasuk mall yang masih akan dan terus didirikan. Sedemikian adanya, sehingga budaya hemat yang dulu dihafal dan dihayati anak-anak, kini sudah tinggal kenangan.
Budaya iklan di media Indonesia, disadari atau tidak, diakui atau tidak, telah menggiring wajah generasi bangsa pada perilaku konsumtif, pasif, dan hedonisme.
Apalagi dalam beberapa kasus, iklan seolah Tuhan. Mengatakan bahwa orang yang minum ini adalah orang yang pintar, orang yang memakai itu adalah orang yang menggunakanl akal sehat dan sebagainya.
Jadi, iklan tanpa sadar telah mengambil wilayah Tuhan dengan mengatakan ini dan itu. Mungkin karena budaya iklan ini pula yang menyebabkan maraknya perilaku korup di kalangan pejabat seolah tak bisa diakhiri. Sebab, mustahil orang akan korup jika yang dibaca setiap hari apalagi dilihat di mana-mana adalah ayat-ayat suci Al-Qur’an, malu dong sama Tuhan.
Selamatkan Generasi Muda
Bagi orang seperti saya dan mungkin juga mayoritas pembaca tak perlu rasanya membuka ‘Kitab’ Undang-Undang Periklanan di Indonesia. Apa pasal, dampaknya saja sudah sedemikian rupa.
Artinya, Undang-Undang periklanan yang ada, sejauh ini belum begitu pro terhadap kemerdekaan akal dan hati anak-anak bangsa, sehingga iklan merajalela.
Sudah seharusnya pemerintah menertibkan masalah iklan ini, yang kata Fasrijana Adeney Risakotta disebut sebagai pencuri terselubung itu. Janganlah semua tempat diperbolehkan untuk menjadi surga industri dengan bebas memasang iklan di mana pun juga. Cukuplah iklan itu di koran mungkin. Jangan juga jalanan menjadi sarang iklan.
Selain itu, sudah seharusnya pihak produsen yang berhajat mengiklankan produk atau jasanya diwajibkan menggunakan bahasa-bahasa yang asli dengan kualitas produknya. Jangan menggunakan bahasa-bahasa bombastis yang ternyata jauh dari realistis.
Selain akan merugikan konsumen, di sisi lain, akhirnya theologi iklan menghalalkan penggunaan bahasa yang indah, menarik, walaupun jauh dari fakta. Ini sama artinya dengan membangun budaya berdusta. Jelas ini sangat berbahaya.
Tapi sampai kapan dan mungkinkah pemerintah punya kemauan yang kuat akan hal tersebut? Dari pada sibuk berdebat soal apakah pemerintah mau atau tidak, kita sendiri sebagai rakyat mau tidak mau harus cerdas.
Jika tidak benar-benar merasa perlu melihat televisi, sebaiknya dimatikan saja. Bahkan kalau perlu, ketika budaya nonton sudah sedemikian rupa, sebaiknya segera bungkus dan jual saja televisi yang kita punya. Itu jauh lebih aman daripada kita memelihara kotak yang dalam kenyataannya sering mengendalikan pola pikir dan perilaku kita sendiri.
Sebab tidak ada sejarahnya, orang cerdas, berprestasi, apalgi bermanfaat besar bagi kemanusiaan dan kehidupan, itu hadir karena kebiasaan menonton televisi, apalagi sekedar iklan. Sang pencuri terselubung!*
________
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitan-cuitannya di @abuilmia
Trending Now
-
MARSHALL Bruce Mathers III, atau lebih dikenal sebagai Eminem, adalah seorang legenda hidup dalam dunia hip-hop, namun perjalanan hidupnya t...
-
BERHUTANG seakan sesuatu yang tidak aneh lagi bagi beberapa orang. Namun jika sejak remaja sudah dibiasakan untuk berutang, maka itu akan m...
-
WALAUPUN insiden ini langka terjadi, namun tetap perlu kewaspadaan yang ekstra. Khususnya mengetahui langkah pertama yang harus dilakukan d...
-
Nabi Dzulkarnain diketahui pernah memimpin banyak negara-bangsa di dunia (Foto: Harunyahya ID) Oleh Arviati Rohana* MUKJIZAT adalah kehenda...
-
Foto: Pixabay PUTUS asa itu biasa. Yang luar biasa adalah ketika kamu mampu bangkit dari keterpurukan. Lalu kembali melawan rasa ketida...