Iklan

"Penjara" Lebih Aku Cintai

Admin
Sabtu, Mei 04, 2013 | 04:00 WIB Last Updated 2017-03-17T02:16:51Z

CATATAN saya sebelum ini membahas tentang kebebasan. Dari catatan pekan lalu itu dapat dipahami bahwa ternyata kebebasan yang diusung oleh Barat adalah kebebasan fatamorgana.

Kenapa demikian? Karena Barat membesarkan kebebasan berkehendak atas landasan hawa nafsu, yang pada kenyataannya, kebebasan semacam itu tidak benar-benar bisa mereka dapatkan.

Hal itu tidak terlepas dari sifat dasar hawa nafsu itu sendiri yang tak pernah mengenal kata puas dan cukup. Sebaliknya selalu ingin lebih dan lebih.

Diibaratkan orang haus tetapi meminum air laut, tentu haus akan semakin menyiksa tenggorokan. Semakin diminum, semakin haus. Itulah hawa nafsu yang menjadi lokomotif gerakan kebebasan di Barat.

Jadi, energi kebebasan tidak sebaiknya disandarkan pada kebebasan berkehendak tanpa kenal norma dan agama. Kebebasan sebaiknya disandarkan pada iman, akal sehat, logika, dan kemaslahatan bersama.

Fakta Kebebasan
Kalau kita mau jujur, sebenarnya kunci kebahagiaan itu bukan pada pelampiasan kehendak, tetapi kemampuan memenjara hawa nafsu. Mari kita lihat fakta terdekat dalam kehidupan modern ini.

Sepasang pelajar yang memadu kasih di luar pernikahan, mungkin mereka merasakan nikmat badaniah karena melampiaskan hasrat bercintanya. Tetapi apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Rasa bersalah, malu, berdosa, bahkan tak berharga mulai merasuk dalam segenap syaraf kesadarannya.

Tetapi apa yang terjadi ketika, pertemuan kembali terjadi. Semuanya hilang, syaraf kesadaran lenyap entah kemana, dan syaraf kenikmatan kembali menguasai hati dan perasaan.

Saat itu, perbuatan dosa itu pun kembali terjadi. Seterusnya dan seterusnya, hingga akhirnya hilanglah syaraf kesadaran itu yang menyebabkan seorang manusia tak memiliki rasa malu.

Rasa bersalah itu kembali terjadi ketika terjadi kehamilan. Dan, saat itu pula terjadi pertarungan argumen yang sangat kuat antara akal dan hawa nafsu. Jika hawa nafsu yang menang, maka aborsi pun akan terjadi. Dan, fakta tentang aborsi di negeri ini, bukan lagi fenomena biasa.

Dalam sebuah laporan disebutkan bahwa jumlah kasus aborsi atau pengguguran kandungan di Indonesia diperkirakan mencapai 2,5 juta kasus per tahun.

Diyakini, tingginya kasus aborsi di Indonesia disebabkan oleh semakin terbukanya perilaku remaja dalam berpacaran karena longgarnya pengawasan orangtua dan keluarga serta kurang berlakunya norma sosial yang dahulu sangat ketat di negeri ini. Termasuk ketidaksigapan pemerintah dalam memfilter tayangan film atau sinetron yang beredar luas di masyarakat.

Memenjara Diri
Kalau ada kesempatan, kemudian kita bertanya kepada mereka yang telah melakukan seks haram, pasti mereka tidak menjawab bahagia, apalagi yang telah berani melakukan aborsi.

Artinya, kenikmatan yang mereka rengkuh tidak memberi dampak kebahagiaan. Mengapa demikian? Jelas, karena kebahagiaan tidak sama dengan kesenangan badaniah.

Kunci kebahagiaan yang sebenarnya terletak pada kemampuan diri memenjara hawa nafsu. Mari kita lihat fakta terdekat dalam kehidupan kita.

Seorang CR7 harus berlatih sangat keras untuk bisa menjadi pemain terbaik dunia dengan gaji yang sangat besar. Tapi sayang, tak banyak yang mengetahui fakta tersebut.

Satu bentuk ketidakcerdasan media kita dalam meliput pesepakbola adalah tidak menampilkan bagaimana latihan yang ditempuh. Umumnya menampilkan pacarnya dan kehidupan glamournya.

Dalam konteks yang lebih luas, kita melihat justru orang-orang besar, mencerahkan dan mampu mewariskan gagasan-gagasan bernilai justru mereka yang pernah dipenjara.

Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah, Hamka, Sayyid Qutb, dan Ibn Taimiyyah, ketiganya adalah manusia yang pernah dipenjara di balik jeruji besi. Tetapi, justru penjara itulah yang membuat ketiganya mampu menghasilkan karya-karya terbaik yang menjadi rujukan setiap pecinta kebenaran.

Dalam konteks entrepreneurship, seorang pengusaha sukses bukan yang pandai menghabiskan modal untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan bisnis, tetapi yang mampu mengatur cash flow keuangannya, sehingga modal yang sedikit pun bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Tentu, kinerja, komitmen, dan kesungguhan mutlak adanya.

Dengan demikian, maka sebenarnya tidak bisa kita bantah lagi, bahwa untuk bahagia kita harus memenjarakan hawa nafsu dalam diri. Seorang pelajar harus memenjara rasa kantuk dalam kelas, rasa malas dalam belajar, dan rasa bosan dalam membaca.

Jika hal itu tidak juga berhasil dilakukan, maka sekolah hanyalah soal seragam, karena antara datang dan pulang sekolah sama-sama zero alias 0:0.

Memilih Penjara Sukses Kemudian
Mulai sekarang, yuk kita teriakkan dalam hati masing-masing bahwa, "Aku cinta penjara". Aku tidak akan lagi menggunakan waktu malamku untuk menonton televisi yang acaranya tidak membangkitkan semangat, tidak menambah pengetahuan, dan tidak mendorong untuk rajin belajar, taat orang tua, dan cinta ilmu.

Aku tidak akan menghabiskan waktu siangku untuk hal-hal yang tidak berguna, keluyuran, bolos sekolah apalagi pacaran. Aku malu kepada Tuhan, aku takut dihukum Tuhan, dan aku takut sengsara di masa depan. Aku harus belajar sepenuh hati, membaca sepanjang hari, dan berdoa setiap waktu.

Itulah yang dilakukan oleh Nabi Yusuf. Tatkala ia diajak berbuat dosa, dengan segera Yusuf berdoa kepada Tuhannya;

"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS. 12: 33).

Mulai sekarang, mari kita merdekakan diri kita dari segala yang menyuramkan masa depan kita sendiri, menyusahkan keluarga, dan menyakitkan orang tua, yang berujung pada kemurkaan Tuhan. Selamat berjuang dan semoga sukses selalu. []

________
*) IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis. Ikuti juga cuitan-cuitannya di @abuilmia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Penjara" Lebih Aku Cintai

Trending Now

Iklan