SAYA mempunyai tiga buah hati. Masya Allah, Tabarakallah. Masing masing membawa kegembiraan dan kegundahan tersendiri.
Yang sulung, satu satunya perempuan (12 tahun) sedang menapaki jejak menuju pintu kedewasaan. Tentunya, sebagai orang tua, ada rasa khawatir bercampur bangga. Rasa yang hanya dimiliki oleh orangtua yang memiliki anak sekitar usia sekian.
Sebagai anak tertua, tentunya ia adalah anak yang sudah paling lama 'terpisah' dari saya, dikarenakan saya harus berbagi kasih sayang dan perhatian dengan kedua adiknya.
Ditambah lagi dengan kemandirian yang sudah semakin lengkap, lengkap pulalah 'jarak' yang ada di antara kami. Yang ada adalah dia kami anggap sebagai 'kakak' di rumah kami. Yang sepatutnya sudah bisa meringankan tugas ibunya, sesekali menjaga dan memenuhi kebutuhan adiknya, tahu tanggung jawab dan kewajibannya.
Sebagai anak paling sulung dan satu-satunya perempuan, sering sekali saya merencanakan dating berdua saja dengannya; menonton film yang adiknya belum boleh tonton di bioskop, ajak makan sushi kesukaannya, jalan aja lihat-lihat toko baju dan model sepatu. Ya, namanya juga perempuan.
Tapi, lebih sering dari tidak, semua itu buyar, ketika hormon mengalahi adab santun, kewajiban dan tanggung jawab terbang terhambur, pekerjaan rumah sering sekali tidak terbantu.
Rencana itu terlepas! Terlupa saya, badannya saja yang sudah menjulang, umurnya kan, baru 12!
Dengan yang nomor dua, kebetulan sudah kelas dua, ia sering iri mendengar kegiatan adiknya yang masih mengekori saya kemana pergi. Apa yang adiknya dapat hari ini, yang adiknya makan, orang yang ditemui, tempat yang dikunjungi. Dia iri!.
Walau tak henti hentinya saya ulangi cerita tentang bagaimana ia waktu seumur itu, lengket pada saya seperti perangko. Mendapat perhatian yang tidak terbelah bagi. Juga konsep bahwa masing masing orang ada rezekinya masing-masing. Walau dalam hati, saya simpan rapi rapi, janji bahwa saya akan belikan ia semua hal yang sama nanti. Hanya saja, tidak saya utarakan padanya. Tunggu waktunya tepat.
Tapi dengan kesibukan harian, ini itu, persiapan sekolah, jalan-jalan weekend sekeluarga, moment yang saya harapkan untuk bisa berdua saja dengannya lagi-lagi, terlepas! Saya lupa, ia masih 7 tahun umurnya.
Yang kecil.. yang masih selaaaallluuuuu bersama saya, kemanapun jua saya pergi, adalah yang paling bahagia! Ia tahu, segala permintaannya tak perlu menunggu waktu pulang sekolah atau ditunda, walau tidak semua dipenuhi, minimal, bisa langsung saat itu juga minta ke mama.
Ia yang paling sering bikin kakak dan abangnya iri, dengan menceritakan kenikmatan harinya bersama mama, di waktu menjemput abang kakaknya pulang dr sekolah.
Beberapa bulan lagi, ia akan genap lima. Insya Allah. Waktunya ia pula untuk bersekolah. Sekolah yang mana, kami sudah melihat, mencoba dan mendiskusikannya dengan dia. Ia sudah tahu, sudah siap, tinggal bayar uang masuk saja.
Tidak terasa, pergi sudah semua. Walau hanya setengah hari saja, tinggallah saya di sarang yang sepiiiiii dari biasa. Yang ada hanya longgokan kain, sapu, meja, yang memanggil manggil saya untuk melakukan rutinitas harian padanya.
Bukankah sepatutnya saya gembira? Bukankah waktu yang dinanti-nanti ini akhirnya tiba? Bebas! Lepas! Bergembira! Bisa menonton apa saja. Makan es krim sebanyak-banyaknya! Tidur tanpa gangguan. Akhirnya! Ke kamar mandi tanpa ketukan di pintunya!
Tapi, ternyata beda harapan dengan realita. Yang ada, saya terduduk di sofa sendiri. Tanpa teh hangat dan tanpa tontonan tivi, menangis tersedu -sedu. Kehilangan semua rasanya. Sepi.
Apalagi, saya tambah sedih jika mengingat, banyaknya peluang saya yang terlepas dengan si sulung hanya karena emosi, dengan si tengah karena sibuk nggak jelas di sana sini. Dan sekarang, terngiang-ngiang permintaan membeli mainan murah di warung sebelah oleh si bungsu tadi.
Tak lama lagi, karena memang sifat waktu itu cepat berlalu. Terlebih lagi, di akhir zaman, dimana keberkahan waktu semakin menipis, tak lama lagi. Mereka akan mengepakkan sayapnya yang sudah kokoh. dan terbang meninggalkan sarangnya ini. Jauuh, lamaaaaa sekali.
Tinggal sedikit waktu lagi inilah, kesempatan yang saya punya. Disaat mereka sedang menyiapkan dan memperkuat sayapnya. Walau sudah banyak waktu terlepas, saya ingin hentikan itu semua.
Saya masih ada waktu. Sedikit lagi. 'Injury time' kalau istilah di persepak bolaan. Terutama dengan si sulung. Saya mau puas-puaskan. Mumpung saya masih bisa.
Tersungkur saya pada yang Esa, memohon bimbingan-Nya, agar tiada lagi waktu dan kesempatan yang terlepas, mulai hari ini dan seterusnya.
WINA RISMAN
Trending Now
-
MARSHALL Bruce Mathers III, atau lebih dikenal sebagai Eminem, adalah seorang legenda hidup dalam dunia hip-hop, namun perjalanan hidupnya t...
-
BERHUTANG seakan sesuatu yang tidak aneh lagi bagi beberapa orang. Namun jika sejak remaja sudah dibiasakan untuk berutang, maka itu akan m...
-
WALAUPUN insiden ini langka terjadi, namun tetap perlu kewaspadaan yang ekstra. Khususnya mengetahui langkah pertama yang harus dilakukan d...
-
Nabi Dzulkarnain diketahui pernah memimpin banyak negara-bangsa di dunia (Foto: Harunyahya ID) Oleh Arviati Rohana* MUKJIZAT adalah kehenda...
-
Foto: Pixabay PUTUS asa itu biasa. Yang luar biasa adalah ketika kamu mampu bangkit dari keterpurukan. Lalu kembali melawan rasa ketida...