Kesibukan dan jadwalnya luar biasa padat. Namun, semangatnya untuk memajukan bangsa tak pernah surut.
Dialah DR Hj Sabriati Aziz, M.Pd.I. Selain sibuk berkiprah di tingkat nasional, Sabriati figur wanita yang memiliki perhatian tinggi terhadap masalah ketahanan keluarga.
Dia kerapkali berkeliling daerah. Dari kampung ke kampung. Menghadiri undangan atau menjadi narasumber pembicara tentang masalah sosial, isu keislaman, terutama tentang keluarga.
Bahkan hal itu, dilakukannya jauh sebelum sang suami, Aziz Qahhar Mudzakkar, menjadi Cawagub Sulsel termasuk pada Pilgub 2004. Ibunda dari 8 (delapan) anak ini sudah kerapkali bertandang ke berbagai kawasan di pelosok nusantara
Rutinitas bersilaturrahim dan menyerap aspirasi umat itu kian bertambah ketika Sabriati diamanahi menjadi Ketua Umum PP Muslimat Hidayatullah pada tahun 2000. Dia sekaligus menjadi Ketum pertama organisasi wanita tersebut.
Tak heran, atas perhatian dan komitmennya dalam banyak masalah sosial khususnya ketahanan keluarga, ibu kelahiran Ujung Pandang ini seringkali dijuluki sebagai “Penebar Virus Energi Cinta Keluarga”.
Berangkat dari semangat dan cita-cita mulianya untuk memajukan keluarga Indonesia tersebut, Sabriati lantas mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada masalah ketahanan keluarga yaitu Komunitas Pencinta Keluarga (KIPIK).
Sepak terjang Sabriati dalam skala nasional terus menanjak. Pada 13 April 2013, Sabriati dipercaya mengemban amanah sebagai Ketua Presidium Musyawarah Nasional Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) hingga saat ini.
BMOIWI di bawah kepemimpian Sabriati memiliki berkomitmen menjadi wadah sinergitas wanita Muslim dalam menjaga ketahanan keluarga dan memperjuangkan kepentingan kaum Muslimah.
BMOIWI merupakan lembaga federasi 32 ormas muslimah dalam rangka mensinergikan gerakan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dan ketahanan keluarga, dengan ruh gerakan tidak lepas dari nilai-nilai Islam.
Kemudian, pada tahun 2016 lalu bersama dengan sejumlah tokoh wanita nasional lainnya seperti Neno Warisman dan Fahira Idris, Sabriati mendirikan gerakan masyarakat bernama Gerakan Ibu Negeri (GIN) dimana dia didapuk sebagai Dewan Penasihat.
Latar belakang berdirinya GIN karenanya adanya kegundahan dari kaum ibu akan kondisi negeri yang dianggap kian memprihatinkan terutama aspek ketahanan keluarga dan kebijakan regulasi tampak tidak terlalu berpihak pada upaya penguatan keluarga.
Moralitas memang masih menjadi problem sangat serius dari bangsa ini. Moral kacau tak pelak merendahkan adab dan mengagungkan artefak kegilaan yang membanggakan absurdisme.
Nilai-nilai itulah yang juga kemudian mendorong Sabriati bergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab (GIB). Gerakan yang terdiri atas puluhan aktivis dan pakar ini ingin membangkitkan nilai-nilai adab bangsa.
Terlebih, degradasi moral dan berbagai masalah sosial telah meruntuhkan bangunan adab bangsa yang disebutkan dalam Pancasila. Terutama karena dampak pornofrafi dan lemahnya ikatan dalam keluarga.
Akar dari berbagai masalah sosial di Indonesia adalah lepasnya norma dan nilai kehidupan. Karena itu, GIB berfokus pada kebijakan ramah keluarga, penguatan keluarga, pemberdayaan pendidikan dan masyarakat.
Jihad Konstitusi Menyelamatkan LGBT
Perhatian Sabriati pada masalah sosial utamanya keluarga kian menarik dirinya memasuki “ruang pertarungan” yang semakin sengit.
Pikiran Sabriati tentu saja semain terperas. Kesehariannya semakin padat dengan beragam agenda. Dan di sini, jihad konstitusi ditempuhnya.
Bagi seorang ibu, kelembutan hati menyentakkan kesadaran Sabriati bahwa ancaman perilaku menyimpang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kian mengkhawatirkan.
Jika perilaku ini dibiarkan, menurut Sabriati, virus ini dapat saja menyebar dan menyasar anak-anak generasi muda bangsa.
Tersebab dari kekhawatiran itulah, Sabriati bersama dengan sejumlah akademisi dan lembaga nasional lainnya melakukan uji materi (Judicial Review) terhadap 3 pasal yakni 284, 285, 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kesusilaan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam uji materi ini pemohon menilai homoseksualitas dan zina merupakan tindakan amoral yang dilarang agama.
Pemohon memandang homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
Sehingga, para pelaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dikenakan Pasal 292 KUHP dan dipenjara maksimal 5 tahun.
Sabriati menilai, uji materi tersebut bukan bermaksud mendiskreditkan pelaku LGBT karena boleh jadi mereka adalah korban.
Justru sebaliknya, pemohon ingin menyelamatkan pengidap LGBT agar sembuh. Apalagi tidak satupun agama yang mentolelir perilaku abnormal tersebut.
Menurut Doktor bidang Pendidikan Universitas Ibn Khaldun (UIKA) ini, judicial review tersebut diantaranya dilatari adanya kekhawatiran merebaknya pengaruh kampanye perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang menyasar anak-anak.
“Sebelum semakin banyak jadi korban, harus ada kepastian hukum untuk perlindungan anak-anak kita. Negara harus hadir di sini melindungi mereka,” kata Sabriati Aziz dalam sebuah kesempatan dikutip media.
Menurut Sabriati, judicial review terhadap pasal 292 tentang pencabulan dan lainnya itu agar dapat memastikan tidak ada kekosongan dan ketiadannya kepastian hukum terhadap asusila pencabulan yang kian mengancam generasi muda bangsa.
“Sehingga ini sangat dimungkinkan untuk mencegah terjadinya kasus perzinahan dan ancaman pencabulan seperti prostitusi gay anak yang mengkorbankan masa depan mereka,” katanya.
Cinta Keluarga
Kendati memiliki jadwal dan kegiatan yang sangat padat termasuk tak jarang memenuhi undangan keluar negeri, tidak lantas membuat Sabriati abai terhadap kewajiban utama sebagai seorang ibu dan istri.
Meski sibuk, perhatian Sabriati tak berkurang pada keluarga. Bersama sang suami, yang juga memiliki jadwal padat, mereka selalu memastikan menyapa dan berbicara dengan anak-anaknya.
Karenanya tak heran, kedekatan antara mereka bak semut dan gula. Seperti amplop dan prangko.
Perhatian pada pendidikan anak tak terabaikan terutama bekal pendidikan agama. Anak-anaknya umumnya disekolahkan di pondok pesantren.
Diantara anak-anaknya, kini ada yang menempuh studi pendidikan tinggi di luar negeri yakni Malaysia dan Mesir. Bahkan di antaranya ada yang menjadi dokter dan telah menjadi hafidz 30 Juz.
Di sela-sela kesibukannya, Sabriati masih sempat mengurus pengajian yang digalakkan oleh ibu-ibu komplek yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Keluarga (KIPIK) yang digelar di kediamannya setiap pekan.
Padatnya jadwal pun tak menyurutkan rutinitas harian Sabriati melaporkan kegiatan bacaan Al Qur’an minimal 5 lembar perhari melalui grup WhatsApp.
Meskipun dikenal sebagai tokoh yang interaksinya luas dengan berbagai kalangan elit nasional, Sabriati tetaplah orang kampung yang sederhana. Tetap bersajaha dengan jilbab lebarnya.
Gelora gerakan dan kiprahnya berskala nasional bahkan internasional, namun Sabriati tetap saja enjoy berkeliling dari kampung ke kampung.
Sabriati tak segan meriung bersama warga dari kolong rumah satu ke kolong lainnya, demi menebarkan energi kebaikan "virus" cinta untuk keluarga Indonesia.*