ADA sejuta isu kalau kita mau ikuti satu persatu. Butuh waktu satu abad untuk membuka tabir dari segala peristiwa secara terang benderang. Perlu banyak forum diskusi untuk kita bisa mengerti.
Padahal tidak semua isu, semua diskusi, semua warta, dengan waktu yang sangat terbatas bermanfaat signifikan bagi kita, kaum muda.
Politik, hukum, ekonomi, korupsi, narkoba, gosip, sepakbola, musik, film; dari Amerika sampai Korea terus-menerus menyita perhatian, waktu dan energi. Semua ditampilkan, semua didiskusikan, tetapi semua tak ada yang benar-benar terselesaikan.
Bahkan perubahan karakter yang semestinya terwujud kian jauh panggang dari api. Seperti pungguk merindukan rembulan, peristiwa-peristiwa irasional kian sering terjadi.
Di saat kalimat-kalimat mulia muncul, sebagai angin harapan dari pejabat negara. Pengedar narkoba yang semestinya dihukum pasti, justru mendapat grasi. Pejabat yang pernah tersandung kriminal yang semestinya dipecat, justru diangkat lagi untuk menjabat.
Supremasi hukum yang semestinya menegak justru makin tak berwatak. Padahal nyata, narkoba sumber segala kehancuran. Setidaknya itulah curahan hati Ketua DPP Granat, Henry Yosodiningrat dalam ILC TVone, Selasa lalu (16/10).
Mungkin sebagian generasi muda atau juga mayoritas bangsa ini, bisa mengelak dengan memandangi setiap event olah raga; mulai dari Liga Inggris, Liga Champion, sampai penyisihan Piala Dunia bagi yang lelaki.
Atau melihat sinetron, artis korea, bahkan telenovela bagi yang perempuan. Apalagi, siaran tv hari ini bisa dibeli sesuka hati. Tetapi sadar atau tidak, pengalihan pandangan seperti itu justru akan membuat mereka kian tak mampu menghadapi persoalan kehidupan.
Di sisi lain, jurang masalah kebangsaan dan kenegaraan kian menganga, indikasi kehancuran kian mengancam. Sementara itu, sajian yang memanjakan kemalasan dan kebodohan kian membabi buta. Belum lagi tindakan pelaku kebijakan yang lebih banyak ‘bersengketa’ daripada bekerja. Jika demikian, kemanakah generasi muda akan melangkah?
Fokus Membangun Diri
Bukan hal keliru tentunya jika generasi muda coba menikmati sajian sepakbola dini hari di berbagai televisi. Juga bukan masalah besar, gadis-gadis negeri ini memandang film korea atau Amerika dengan aktor yang berotot dan kekar. Sejauh semua itu dilakukan secara proporsional.
Jadi, kegemaran terhadap hiburan tidak menjadikan konsentrasi terhadap tugas utama sebagai generasi muda terabaikan. Apalagi sampai menimbulkan kemalasan yang berujung pada kecurangan di bangku sekolah yang kita duduk untuk menata masa depan.
Hal yang utama dan pertama perlu dilakukan oleh generasi muda adalah membangun diri. Yaitu dengan cara menanam bibit keunggulan diri untuk masa depan bangsa.
Mulai dengan melatih diri dalam kesabaran, ketekunan, kesungguhan, kedisiplinan, kesetiakawanan, hingga tegak di atas nilai-nilai keimanan dan kebenaran.
Perkara keunggulan diri ini tidak peduli orang mana, anak siapa, dari keluarga bagaimana, atau beragama apa.
Siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil. Ada banyak sosok inspiratif yang bisa kita tiru untuk membangun diri sejak dini. Mulai dari zaman kuno, pertengahan, modern bahkan postmodern sekarang. Sebab aksiomanya jelas, belajar di waktu kecil bak mengukir di atas batu. Dan, belajar di masa tua bak mengukir di atas air. Jadi, tidak ada kesuksesan yang datang tiba-tiba.
Socrates hingga Rene Descartes
Socrates (470 – 399 SM), ia seorang filosof, hidup jauh sebelum zaman masehi tiba. Ia menjadi terkenal selain karena guru dari Plato, juga karena keteguhan hatinya menerima hukuman minum racun demi mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya sebagai kebenaran.
Sebenarnya ia bisa kabur atau memohon grasi ke “presiden”, tetapi ia tak mau lakukan itu semua, karena ia yakin dirinya benar dan tidak layak dihukum. Ia lebih rela mati dalam kebenaran, daripada kabur untuk mempertahankan kebenaran, yang dalam pandangannya merupakan tindakan tidak bertanggungjawab.
Sebagai seorang filosof, Socrates tentu lebih pandai berbicara, berdebat dibanding pakar hukum di tanah air sekarang. Apalagi ia dihukum atas tuduhan yang tidak sesuai fakta. Ia mengajarkan moral kepada generasi muda, malah dituduh merusak mental anak muda.
Tetapi ia tidak mau menggunakan potensinya itu untuk membela diri dan mengubur keyakinannya akan nilai-nilai kebenaran yang sejak lama dipupuk dan ditumbuhkembangkan. Ia rela menjadi korban ketidakadilan pertama pada awal sejarah panjang peradaban Barat.
Selanjutnya Rene Descartes, yang oleh sarjana Barat dinobatkan sebagai Bapak Filsafat Modern. Terlepas dari sempitnya cara pandang atau pandangan dunia yang dibangun oleh Descartes untuk peradaban Barat, komitmennya sebagai pemikir patut untuk dipelajari.
Penghormatan Barat terhadap Descartes cukup besar, karena dialah satu-satunya individu yang mampu mengkonstruksi satu teori ilmu yang dapat melumpuhkan kekuatan otoritas Gereja yang resistan terhadap tumbuhnya pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahkan, boleh dikatakan, tanpa Descartes tidak akan pernah lahir seorang Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, Gadamer, Immanuel Kant, Sigmund Freud, dan yang lainnya, sampai pada Samuel Huntington di abad ini.
Cogito ergo sum-nya Descartes menjadikan Barat tumbuh menjadi peradaban yang menghegemoni dunia, sekaligus menjadi rahim bagi tumbuhnya teori ilmiah dan industrialisasi besar hingga saat ini. Meskipun gara-gara pemikiran Descartes itulah, kolonialisasi dan imperialisasi menjadi halal bagi negara-negara Eropa 4 abad silam.
Jadi, kalau kita ingin mengungguli peradaban Barat maka kita harus menguasai filsafat Barat secara kritis, kemudian mengkonstruknya dalam bentuk yang baru. Bukan terkagum-kagum kepada Barat, apalagi membeo, tanpa basa-basi dan argumentasi.
Nabi Ibrahim hingga Buya Hamka
Dalam peradaban Islam, sosok inspiratif yang tidak lapuk dimakan zaman jauh lebih banyak daripada yang tersedia dalam sejarah peradaban Barat. Pemikiran dan perilaku mereka sanggup menembus perjalanan faktu hingga garis finisnya. Sangat berbeda dengan pemikir Barat yang terbatas ruang dan waktu.
Teori Descartes, bagaimanapun ia dijuluki seorang Bapak Filsafat Modern, tetap tidak berlaku di zaman postmodern seperti sekarang. Teori Karl Marx sebagai pendiri Komunisme, telah banyak dibenci penduduk dunia. Tetapi, sosok Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf dan Nabi Muhammad, akan tetap relevan di segala ruang dan segala zaman.
Nabi Ibrahim sejak kecil telah belajar tentang eksistensi diri, hingga muncul sebuah prinsip hidup yang kokohnya mengalahkan batu karang. Ilmunya menembus langit, sehingga ia mampu menjalani “irasionalitas” kehendak Tuhan dalam dirinya dengan sempurna. Hatinya tetap tak tergoyahkan oleh bisikan Iblis yang selalu melihat realitas sebatas materi yang artifisial.
Demikian pula dengan Nabi Yusuf. Sebatang kara yang kenyang dengan derita dan sengsara. Sejak kecil ia dilempar ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Kemudian menjadi budak belian, bahkan harus rela masuk penjara karena tuduhan yang tak berdasar. Tetapi Yusuf tetap pada pendiriannya, ia teguhkan hatinya, dan ia paham dengan jelas, Tuhan tidak akan tinggal diam.
Kasus hampir serupa namun lebih heroik adalah apa yang dialami oleh Nabi Muhammad. Sejak lahir sudah yatim, tidak lama kemudian yatim piatu, dan selanjutnya bekerja membantu kakek, lalu pamannya. Ia tak bisa bermain, karena harus bertahan hidup. Kesusahannya tidak menjadi alasan untuk berpikir pragmatis. Ia tetap menjadi pribadi yang ulet, disiplin dan jujur.
Spirit itu kemudian menjelma dalam diri para ulama Muslim yang sangat luar biasa. Imam Bukhari belasan tahun hidup mengabdikan diri untuk ilmu. Ia habiskan umurnya untuk mengumpulkan hadits Nabi Muhammad. Begitu pula Imam Ghazali, Ibn Taymiyah, hingga di abad modern di negeri ini ada Syekh Imam Nawawi Al-Bantani, dan Buya Hamka.
Di Indonesia, Buya Hamka termasuk sosok yang komprehensif. Ia seorang ulama yang ahli sastra, filsafat, sekaligus sebagai aktivis politik. Setidaknya ia bisa dipresentasikan sebagai profil ulama zaman dulu yang multi talenta dalam bidang keilmuan dan keumatan.
Produktivitasnya dalam menulis mengantarkan pria Minangkabau itu mendapat julukan Hamzah Fansuri modern. Sama seperti ulama terdahulu, produktivitas menulisnya sungguh sangat luar biasa. Sebuah tradisi yang lahir dari spirit memahami Al-Qur’an secara serius dan mendalam.
Tentu produktivitas Buya Hamka adalah akumulasi dari kecintaan membacanya yang luar biasa yang dirintis sejak kecil. Kecintaannya terhadap ilmu mengundang penghargaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Anehnya, tidak satu pun kampus dalam negeri yang menghargai putra bangsanya sendiri, sekalipun seorang Buya Hamka. Padahal, jasa Buya Hamka, diakui tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di Malaysia, Thailand Selatan, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, dan tentunya di beberapa negara Arab.
Ambil yang Terdekat
Semua sosok di atas adalah manusia yang tidak menggunakan masa mudanya untuk berfoya-foya, apalagi pacaran kesana-kemari. Mereka punya hobi olahraga atau rekreasi, tetapi fokus mereka setiap hari tetap membangun diri. Bukan untuk dirinya, bangsanya, atau zamannya, tetapi untuk generasi manusia sesudahnya dan sepanjang zaman.
Sepertinya kita patut kembali merenungi puisi yang disampaikan oleh Iqbal, terutama di tengah zaman yang orang tidak tahu harus melangkah ke mana. Dari pada sibuk untuk kesia-siaan, lebih baik membungkus diri dalam api, seperti Nabi Ibrahim. Kemudian tidak tunduk terhadap apapun kecuali kebenaran.
Jika kita merasa jauh dengan Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, atau pun Imam Ghazali, ambillah Buya Hamka. Ia putra bangsa luar biasa yang telah mendedikasikan hidupnya untuk bangsa, negara, dan agama. Jika ternyata tidak ada lagi yang terdekat, maka jadikanlan diri kita sendiri seperti Nabi Musa hingga Buya Hamka.
Sebab hanya manusia yang tunduk pada kebenaran yang tindakannya melahirkan kesejahteraan dan ucapannya menciptakan ketentraman. Sekarang, kembali kepada nurani kita, hendak ke mana kalian wahai generasi muda bangsa?.
[IMAM NAWAWI, penulis adalah kolumnis.